Oleh: Jefri Setyawan
Hampir setahun aku masih setia untuk diam. Bukan berarti aku malas, namun keadaan yang membuat aku begini. Tubuhku pun lunglai pasrah, Tak mampu bergerak ke kiri maupun ke kanan.
Aku terlentang merebahkan diri pada ranjang berlapis tikar pandan. Tak ada pekikan suara yang mampu menandakan bahwa aku masih hidup. Mulutku hanya mampu kembang kempis. Kelopak mata yang kian sayu hanya mampu membuka dan menutup.
Kriiiiieeeetttt….
Ku dengar suara pintu itu terbuka. Aku menghela hafas. Ku lihat bayangan ibuku memasuki rumah tua ini. Dinding yang terbuat dari bambu tak jarang membuat aku menggigil tiap malam.
“Emak pulang nduk, ayo makan dulu,” diambilnya bungkusan yang ada dalam kantong plastik putih yang dibawa. Dikeluarkannya bungkusan nasi mawut seperti biasanya.
“Gado-gado nduk, kesukaanmu,” tebakanku kali ini meleset. Ibu membuka mulutku perlahan. Hal inilah yang kembali mengingatkan kisah klasikku dengan ayah. Setiap minggu selalu langganan makan gado-gado di pinggir taman kota, tentunya dengan ibu menyuapiku dengan sabar.
Usiaku baru menginjak kelas 5 SD. Namun tak disangka kala itu adalah hari terakhirku dengan ayah. Kami kecelakaan saat perjalanan pulang. Ayah meninggal di tempat sedangkan aku menjadi lumpuh seperti saat ini. Kemanakah ibu saat itu? Ibu sejak menikah dengan ayah membuka salon sederhana di pinggir alun-alun. Semua saat itu terjadi dengan cepat.
“Kok nangis nduk? Terlalu pedas ya?,” seakan tak percaya ibu mengecap bumbu kacangnya. Aku hanya diam. Menyaksikan sosok perempuan bercadar ayah di depanku. Silau keharuman hatinya membuatku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tak tega melihat ibuku harus berjuang sendiri sekedar mencari sesuap nasi. Namun apa apa daya diriku. Perempuan lemah, tak seperti ibu yang begitu tangguh.
“Sudah habis, minum nduk,” terlihat guratan keriput menjalar pada tangan yang hampir tersisa tulangnya saja. Aku semakin pasrah melihat adegan yang jujur membuatku sakit hati.
“Ayo sekarang mandi nduk,” ucapannya kini mulai serak, sepintas kulihat setitik kristal meresap pada daster merah usangnya.
“Ibu, aku tak bermaksud menyiksamu. Maafkan aku Tuhan bila tak sepantasnya aku perlakukan ibuku begini,” gumamku dalam hati.
Bila raga ini adalah milikku.. Ku gadaikan demi bahagianya ibuku.. Bila cinta ini adalah milikku.. Kepada ibuku cinta ini berlabuh, meski tak pernah sempurna hingga akhir waktu
Pasuruan, 20 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar