Mentari fajar kembali memperlihatkan sosok yang tegar walau rentah termakan usia. Sinarnya begitu tajam berhamburan layaknya kapas beterbangan tertiup angin. Sederet aurora menghilang sejalan sinarnya yang mulai sepenggalan. Udara segar menjadi idaman para insan yang berniat olah raga atau sekedar jalan kaki. Suara malam masih melekat pada dedaunan yang meneterkan embun paginya. Burung-burung yang masih bertengger pada ranting pohon yang rupanya enggan memulai aktifitasnya. Masih tak terlihat rentetat mobil besar sepanjang jalan in. Bahkan tak satupun yang melintasi. Aku lupa. Iya, aku lupa kalau aku tak lagi berada di kota Jakarta. Suara bising dan lalu lalang kendaraan yang kerap kali kudengar kini sudah tiada. Semua sunyi. Lagu seperti inilah yang selalu kurindukan jauh dalam hati. Bahkan begitu sangat mendalam.
"Rey, ayo cepat!!! Entar kita kesiangan nyampe sana," lamunanku buyar seketika Didit memukul pundakku. Didit adalah teman satu jurusan denganku. Tubuhnya tinggi dan berkacamata. Garis sunda dan Manado yang mengalir pada dirinya membuat siapa saja kaum hawa yang melihat akan terkesima. Dia agaknya sosok pria yang cerewet dan asal blak-blakkan bila berbicara. Namun, tetap asik bila keluar ilmu pelawaknya. Selain itu adapula Desi, Arif, Hendra, Mei, Riska dan juga Lili. Mereka semua adalah kelompok untuk KKN kami. Iya, ini adalah tugas dari universitas kami. Perjalanan menuju desa Sukamaju ini begitu menarik indraku. Sepanjang jalan mataku dimanjakan oleh ladang sawah yang membetang luas. Serta keadaan alamnya yang masih perawan.
"Menakjubk`n!!," ucapku dalam hati.
Langkah kaki yang telah berjalan akhirnya menempuh batas akhir. Rumah-rumah penduduk terpajang di kanan kiri jalan. Bukan, ini bukan seperti rumah. Hampir bangunan disini semuanya dari kayu. Dinding yang kokoh pun tak kujumpai. Ini hampir mirip kandang ternak di kotaku. Bahkan lebih bagus daripada ini. Namun anehnya ada manusia yang terlihat duduk santai di dalam bangunan itu. Bahkan mereka terlihat asik dengan dunia di dalamnya.
Aku hanya diam.
Sepanjang perjalanan ku habiskan dengan berpikir desa ini.
"Permisi pak, rumahnya pak Lurah dimana pak?," tanya Lili kepada salah seorang warga. Lili adalah ketua tim kami. Dia adalah gadis keturunan Pakistan dari abanya. Tapi dia memiliki tubuh yang pendek dibanding teman cewek kami lainnya. Namun kelebihannya dalam akademik tak diragukan lagi. Tak salah bila dia menjadi ketua. Juga menjadi pencuri hatiku. Gadis yang sangat menarik sepertinya, membuatku harus bersaing dengan orang seluruh kampus mendapatkan cintanya. Namun dia adalah tipe cewek yang sulit untuk didekati. Bahkan seperti temanku Arif yang terkenal alim pun.
"Oh, lurus saja dek nanti di kanan jalan ada gapura masuk saja rumahnya yang ada pagarnya," mendengar jawabannya, Lili mengucap terima kasih dan tersenyum pada lelaki paruh baya di depannya. Rupanya lelaki itu membalasnya dengan senyum seindah mungkin. Kecut. Aku menilai senyumnya begitu norak.
."Ah.. Masak aku cemburu sama bapak tadi,"gumamku sinis.
Akhirnya rumah pak lurah ketemu juga. Kami telah menyampaikan tujuan kami untuk melakuan magang kami selama 3 bulan di desa ini. Pak lurah segara mengantarkan kami pada tempat yang akan kami singgahi untuk kegiatan kami. Diarahkannya kami menuju bangunan yang menurutku lumayan layak dihuni. Entah bagaimana bagi teman yang lainnya. Dindingnya dari tembok dan atap rumahnya tertutup genting namun tak ada asbes di bawahnya. Namun, ini justru jauh lebih baik daripada bangunan yang pertama kulihat tadi. Ini berbeda jauh dari angan-anganku. Selaksa ku mengikuti acara reality show yang ditayangkan pada televisi swasta seusai maghrib itu.
"Bener-bener gila, melarat sekali hidup gue,"namun perkataanku ini ku ucapkan dalam hati mengingat aku menjaga perasaan teman yang lainnya. Sepertinya aku menjaga perasaanku hanya kepada Lili saja. Lebih tepatnya begitu.
"Pesetan"............................
Hawa dingin malam ini meraung-raung mencabik tubuhku. Kusibakkan selimut merah jambu berharap dapat memberi kehangatan lebih. Si empunya malam rupanya tetap bersikeras memelukku. Badanku menggeliat ke kiri dan kanan sehingga membuat kisruh teman satu ranjangku.
"Kenapa loe Rey?," pertanyaan Arif itu membuatku tak enak hati untuk menjawabnya. Mulutkupun serasa kaku untuk sekedar berucap sepatah kata.
"Dingin," jawabku singkat.
"Hemmm..."
"Sorry"
"Hemmm" ucapnya lagi.
"Hah, baru sehari disini seperti dikutub saja," gumamku yang segera beranjak keluar dari kamar ini. Kulangkahkan kaki ini dengan gontai.
"Tek..tek..tik..tak..tek..tek"
Suara itu menarik perhatian telinga Rey. Didekatinya suara yang berasal dari ruang tamu itu. Keadaan cahaya penerangan masih menyala.
"Jangan-jangan maling" belum selesai menerka, tiba-tiba dia dikagetkan oleh si empunya suara.
"Hei kak Rey, masih belum tidur?," ucap seorang gadis yang mematung didepan mesin tiknya.
"Dingin"
"Mau kubuatkah teh manis?,"tawar gadis itu.
"Boleh," jawabku singkat.
Segera gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Ku melihat apa yang dia lakukan dengan mesin tik yanh sudah tua itu.
"Oh....." gumam Rey sambil menganggukkan kepala. Tak lama kemudian gadis itu sudah meletakkan secangkir teh hangat didepan Rey.
"Thanks ya"
"Iya kak, aku lagi ngerjakan tugas sekolah" jawab gadis itu seraya ia terus memamerkan senyumnya yang menarik.
"iya sudah tau"
"Kenapa nggak pakai laptop saja,"tambahnya.
"Nggak kak, bapak nggak ngasih katanya nunggu kuliah saja boleh," jawab gadis itu yang diketahui namanya adalah Salimah anak Yang masih duduk dibangku kelas dua SMK.
"Pakai punya kakak saja, biar tugasnya cepat," tawar Rey.
"Nggak deh kak, kakak juga ada tugas kan?"
"Nggak papa, pakai aja dulu, bentar aku ambil," Rey segera beranjak menuju kamarnya kembali, disamping itu Salimah terus tersenyum akan kebaikan seorang Rey.
Suara riuh gemercik hujan pagi ini mengguyur ranah Sukamaju. Bahagia dan tawa tergariskan pada senyum muka anak desa. Aku teringat akan cerita suku Indian yang begitu bahagianya bila hujan datang. Sudah beberapa hari kami berada disini. Tetapi belum satupun program kerja yang kami lakukan. Tak satupun. Entah kenapa hujan begitu egoisnya datang tiap kami ingin bekerja. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kedatangan kami. Teringat kembali dengan suatu hikayat. Arwah leluhur tak mengizinkan orang asing untuk menhinjakkan kakinya di tanahnya. Kematian yang misterius kerap terjadi seiring irang asing yang menjajaki tanahnya. Bodoh amat.
"Mau kopi kak?" ujar Salimah mengagetkanku. Aku hanya menjawab tawarannya dengan anggukan saja. Fikiranku begitu memutar, melilit kuat lalu hancur.
Bruuuuaakkkkkk.....
Seluruh isi ruangan itu mendekati sumber suara itu. Nyaris telinga mendengar sebutan nama "Rey" yang selalu diulang-ulang.
"Makan dulu Rey, ini ada bubur buatmu," mataku secar perlahan menerwang gadis didepanku.
"Panas..!!!!," aku membuka mulutku lebar menghembuskan nafas dari dalam untuk mendinginkan bubur yang masih di mulutku.
"Ah...maaf Rey," seketika itu ia tiup mulutku layaknya ibu kepada anaknya. Spontan aku terpaku menyaksikan pemandangan yang indah. Gadis yang ku sayang itu.
Lili tak henti-hentinya meminta maaf sambil meniup bubur di mulutku. Ada rasa enak. Tapi aku tak ingin dianggap lelaki mesum.
"Sudah li, makasih," senyumku padanya meyakinkan kalau aku tidak apa-apa.
"Ini makan lagi," dia terlebih meniup bubur yang ada di sendok.
"Kakak, tidak apa-apakah?," tanya Salimah sambil meletakkan kopi di sebelah meja kasur. Aku menganggukkan kepala pertanda tak terjadi apa-apa kepadaku. Bubur terus Lili suapkan seakan rasanya begitu membuatku ingin terus memakannya. Aneh. Padahal aku anti sama bubur. Ku lihat Salimah sepertinya tidak suka keadaanku dengan Lili. Tak seperti biasanya yang selalu perhatian kepadaku. Ia memilih pergi.
"Perempuan betul-betul aneh," fikrku.
"Ayo, satu sendok lagi" kali ini aku memang tak kuat merasakan enaknya bubur itu. Rasa kecanduan tadi sekarang berubah menjadi rasa yang campur aduk. Ingin mual dan muntah rasanya. Aku tahan, aku gengsi. Aku harus jaga image didepannya.
"Hore... Habis, anak pinter," tawa Lili penuh kemenangan.
"Hueeeeeekkkk"
Houuuuugh"
"Lega......,"melihat aku muntah begitu Lili sangat panik sekali. Diambilnya air botol kemasan ditasnya.
"Minum Rey!!!!,"ucapnya histeris.
"Maaf Li, aku tiba-tiba mual," jelasku.
"Aku yang minta maf Rey, aku terlalu memaksa bubur itu masuk," rintihnya.
"Oh Tuhan, dia wanita yang begitu baik sekali," suara itu hanya aku dan Tuhan yang mendengar. Lili pun bergegas keluar. Hingga tak begitu lama ia kembali masuk ke kamar dengan seorang perempuan paruh baya. Aku tafsir ia adalah mantri desa ini. Ya tepat dugaanku.
"Ini obatnya diminum dua kapsul sekaligus tiga kali sehari dan jangan minum kopi terus beri saja bubur atau jus pisang" ujarnya bu mantri tesebut kepada Lili dan kawanku yang lain.
"Menyebalkan," aku terus saja mengeluh berharap sakit ini tak hinggap terlalu lama. Pasalnya aku tak ingin merepotkan yang lainnya.
Senja kaian berpangku pada peraduan yang memiliki tubuhnya. Suara camar, tiupan angin dan balutan hujan menggema hingga rongga dada. Kabut pelangi merona tak sadar merenggut perhatianku. Sudah tiga hari aku tergeletak di kasur ini. Sudah tiga hari pula dia menjadi motivasi untuk bisa sembuh. Lili Dewanti, nama yang begitu indah.
Hari ini aku mulai mengikuti kegiatan yang direncanakan oleh tim kami. Hampir dua minggu lamanya baru hari ini cuaca terik meneropong desa Sukamaju. Kali ini kami akan datang ke sekolah-sekolah setempat. Kami adalah mahasiswa jurusan Seni dan Budaya yang akan mengenalkan budaya bangsa Indonesia kepada siswa disini. Tak menutup kemungkinan kami ingin mengajarkan kepada warganya tentang kesenian nusantara. Begitu kagetnya kami melihat kondisi sekolahnya yang amburadul itu. Kelas hanya ada tiga ruang dan itu harus ada giliran masuk pagi dan siang. Miris sekali. Namun kami tetap semangat. Jantungku tambah berdebar ketika akan memasuki ruangan kelas empat ini. Hari ini kelas empat sampai enam mendapat giliran masuk pagi. Ini kali pertama aku akan mengajar.
"Tunggu Rey, sama aku ya? Nggak masalah kan Didit?," begitu kagetnya aku seorang Lili meminta untuk begabung dengan kami.
"Nggg...ggak papa kok,"ujarku gugup.
"Ah, silakan saja apa perlu aku yang mengalah?," tambah Didit seraya mencubit punggungku.
Aku mengerti apa maksudnya. Didit memang sahabat sedari dulu selain juga dengan Arif.
"Hah nggak, kita bertiga saja ayo!!!," aku tak bisa membayangkan jika mengajar berdua dengan Lili. Bisa-bisa pingsan aku didalam. Di sela-sela pelajaran hatiku begitu miris sekali. Aku masih tak mempercayai kami adalah generasi yang bakal menggantikan pemimpin negara kelak.
"Ayo, masak nggak ada yang tahu kain khas Indonesia?,"pertanyaan itu kembali diulang oleh Didit.
"Kain kafan kak!!!!," ujar salah seorang siswa lalu disertai dengan teriakan tawa seisi kelas kecuali aku. Ini sungguh tak lucu.
"Hentikan semua!!!! Ini bukan PERMAINAN, ini bukan tempat untuk melawak anak-anak. Kita ini adalah Bangsa yang besar, bangsa yang disegani oleh masyarakat dunia, dan kita? Kita adalah calon pemimpin negara ini, tergantung kita akan dibawa kemana nasib bangsa ini. Sekarang kakak tanya, siapa disini yang mau menjadi orang bodoh?," seluruh siswa melongo.
"Beni kakkkkk!!!!,"ujar anak itu kembali sambil menunjuk siswa yang berada di sudut kelas.
"Hahahahahaha," lagi-lagi suara itu. Suara jeritan hati para pemimpi.
"Sudah diam!!! Kalau kalian tidak mendengarkan kakak kalian akan kakak hukum mengelilingi desa ini," ancamku yang entah kenapa terbesit hal yang begitu aneh. Aku ingin mencoba apa mereka berani melawan kami lagi. Suara kelas sekejap hening. Angin semilir memasuki jendela kawat mendinginkan suasana kelas. Juga dengan aku. Lama aku menatap mata mereka satu-satu. Lalu mereka menunduk.
Apa yang terjadi selanjutnya ?
Menegangkan, dan akankah situai kelas yang tadinya ceria terubah sekejap hanya ''Ke-nasionalime-an'' ook Rey?
Benarkah akan terjadi ''kekeraan dalam dunia penddkan'' ?
Dan, bagaimanakah kelanjutan dari kiah cinta Rey dan Lili?
Cerpen part ke 2 akan mengungkap sesuatu yang begitu mengejutkan Apakah itu?
Simak di LAFADZ CINTA KALA SENJA Part 2.
0 komentar:
Posting Komentar