"Dengan mengingat, menimbang, memutuskan, menetapkan bahwa PT. XERO
STYLE bebas dari segala tuntutan yang di ajukan oleh penuntut umum"
"Tok...tok...tok...",
ketukan palu bercumbu dengan meja hijau menjadi titik akhir jalannya kehidupan.
Menerima pernyataan itu, semua indera seakan kerasukan belati yang begitu tajam
hingga menguliti kulit sampai tulangnya. Keadaan tersebut tak jauh beda dengan
mak Sulis serta suaminya pak Tomo.
"Bapak... itu mereka yang salah
kok bebas dari tuntutan sih?", suara centil Fara masih sempatnya bertanya,
menyeruakkan telinga pak Tomo yang tengah menenangkan istrinya.
"Iin sungguh tak adil!!!, itu sangat
keterlaluan! ibarat pepatah, pagar makan tanaman. Dasar orang tak tahu terima
kasih" suara serak mak Sulis tehenti ketika ia kehilangan kesadarannya.
"Braakkkkkk...!!!,"
tubuhnya terjatuh dan kepalanya tak sengaja membentur ubin ruangan pengadilan
itu. Kerabat mak Sulis bergegas memboyong tubuh sintalnya menuju mobil avanza
yang siap terparkir di depan pintu pengadilan.
*****
Pagi yang cerah membelai kulit wanita
paruh baya yang tengah senam pagi dengan ditemani anturium kesayangannya. Usia
yang hampir kepala empat itu tak terlihat tua, bahkan mirip sekali dengan anak
kuliahan. Tinggi yang sepadan dengan tinggi wanita Indonesia pada umumnya 165cm
ini, tak jarang menghabiskan seharian waktunya di salon. Sekedar meni pedi, spa
atau apalah ada saja alasannya untuk menghabiskan uang suaminya yang seorang
walikota itu. Tentu, kegemarannya untuk
berbelanja tak dapat tertandingi oleh wanita manapun di kota ini. Alih-alih
belanja di kotanya, tak jarang uangnya dihambur-hamburkan hingga Paris, London
atau yang terdekat saja Singapura. Seringkali pula perempuan yang sering di
sapa Mak Sulis ini dikecam masyarakat sekitar.
"Punya usaha baju sendiri kok
nyelonong ke luar negeri" adalah ucapan yang acapkali ia terima. Namun
bukan mak Sulis namanya bila tak tersenyum menanggapi celotehan dari para
teman-teman arisannya..
Sore ini cuaca sudah mulai tak
bersahabat. Pijaran mentari yang seringkali mengganggu mang Fara tak lagi
menyeruput kulit putih lelaki ini. Oppssss... sejak dua tahun yang lalu ia
mengubah namanya dari Fandi menjadi Fara. Gayanya yang begitu flamboyan sering
menjadi ajang tontonan gratis bagi warga kampung. Ia awalnya adalah juru masak keluarga
mak Sulis. Tetapi, karena pengetahuannya yang luas tentang dunia fashion ia diangkat, berat kaleee.... ia
diangkat menjadi asisten pribadi mak Sulis.
Seringkali gayanya yang lemah gemulai
membuat mak Sulis tertawa tujuh hari tujuh malam. Busyett... lama amat. Sore
ini mak Sulis tengah bersiap pergi melihat keadaan pabrik tekstil miliknya.
Perjalanan sore yang mendung seakan begitu cepat dari biasanya. Lalu lintas
kota yang biasanya padat merayap kini teralihkan berkat mendung yang rupanya
kian pekat.
"Bu, ini tanda tangan untuk distribusi
barang dulu" ucap salah seorang pegawai marketing pria bertubuh atletis
berkemeja putih begaris dengan santun. Terlihat name tag nya "Muhammad Fardhan", hingga dengan gaya
centilnya Fara memaksa berkenalan sambil melambaikan tangannya, memanggil nama
Fardhan layaknya tukang angkot. Melihat pertunjukan aneh itu, mak Sulis sudah
terbiasa namun ia tetap tak bisa menahan gelak tawa. Hingga ia selalu
meninggalkan asistennya berkeliling sendirian memantau keadaan pabrik. Puluhan
ribu gelondong kain batik setiap minggunya didistribusikan menuju pasar lokal,
pasar nasional hingga meloncat sampai benua biru. Selain itu gaun batik
langsung jadi pun mampu digemari hingga Malaysia, Singapura dan pemasok
terbesar datang dari Australia. Tak khayal bila mak Sulis ini memiliki dua
gelar yang diberikan pemerintah kota setempat, pertama sebagai ibu wali kota
dan yang kedua adalah sebagai duta batik kota tersebut.
Setelah puas melihat kondisi
pabriknya, mak Sulis menyeret mang Fendi, eh.... Mang Fara si kembang kota
menuju butik langganan mak Sulis. Apalagi yang diperbuat kalau bukan belanja,
menghambur-hamburkan uang.
"Itu jeng sekarang yang ngetrend itu model belahan dadanya itu
dinaikkan segini" ucap Fara sambil memperagakan satu persatu ucapannya.
"Aku kan bukan anak muda lagi
far, yang sopan saja deh yang penting kelihatan kalau tubuhku langsing dan
tampilannya glamour"
"Batik lagi jeng?"
"Iya dong sis, aku kan perempuan
Indonesia" ujar mak Sulis sambil menggoyangkan kipas berlapis renda biru,
padahal hawa dingin sudah cukup mendinginkan seluruh kota.
"Biar deh jeng, eke mah ogah
dandan kayak jeng... Eke ntu sekelas dengan Britney
Spears gitu lah" mang Fara tak mau kalah mempromosikan kesukaannya,
hingga celotehannya terhenti setibanya di butik "Claud's" yang tengah
disebut sebagai sentra batik terbaik dari beberapa butik batik di Indonesia.
Dan konsumennya pun, adalah kelas pejabat semua. Padahal, berpakaian batik tak
perlu semahal yang dilakukan mak Sulis. Tak perlu membutuhkan uang banyak untuk
menikmati mahakarya Indonesia yang telah diakui UNESCO dua tahun lalu. Namun,
alasan performance maksimal kerap
kali butik dipilih orang sekelas mak Sulis. Lalu, yang lain bagaimana? Cukup
membeli kain ecerannya saja, mereka menjahitnya di penjahit desa. Langkah itupun
cukup simple bagi peminat batik dari
kalangan low social economy. Berbeda
jauh dengan yang dilakukan mak Sulis. Namun, it's all come from our heart. Begitulah filosofi penggemar batik di Indonesia.
"Ini produk dari Malaysia ibu, kainnya
tidak bikin iritasi pada kulit dan ini adalah produk terbaik saat ini di butik
kami," ujar perempuan pemilik butik yang turun langsung menangani
istri pejabat sekelas mak Sulis. Lama
mak Sulis terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang ia simpan jauh-jauh dalam lubuk
hatinya. Dipegangnya batik itu. Raut mukanya terhenyak ketika ia membalikkan
banderol harga yang menggantung cantik di
icon pakaian itu. Sepertinya mak Sulis bukan mengamati bandrolnya saja,
tetapi ada yang lainnya. Entah apa yang dirasakan mak Sulis kemudian. "Dari
Malaysia ibuk, kainnya sudah diolah dengan keahlian yang lebih bagus" ujar
ibu pemilik butik ketika mak Sulis mengajukan pertanyaan.
"Mbak, saya bisa minta alamat
distributornya tidak? Soalnya saya ingin memesan langsung kain yang serupa. Dan
sekalian ini di bungkus juga mbak," ujar mak Sulis dengan nafas yang lega.
Dadanya mengembang kempis, seakan beban berat tertahan di punggungnya.
Pagi yang mengaruk-garuk lintas
alun-alun kota menyisahkan bau basah. Aroma air hujan sempat tercium tajam pada
angin yang membawanya terbang. Bingkai panorama kota Surabaya terlihat seakan
kota yang sudah mati. Tak terlihat banyak orang yang berlalu lalang sepanjang
jalan utama. Semua begitu sepi, senyap dan lelap. Namun berbeda di suatu
tempat. Banyak kerumunan warga yang berdesak-desakan berebut tempat nonton.
Banyak sekali wartawan dari media cetak maupun elektronik terlihat tak sabar
menanti hal yang besar. Dua minggu yang lalu, kehebohan besar terjadi ketika
sepasang pasutri mendatangi pengadilan negeri kota Surabaya. Dan, hari ini juga
semua issue itu akan diputuskan.
"Ibu Retno Widianingsih alias
Mak Sulis menuntut PT. XERO STYLE atas dakwaan pelanggaran kode etik dalam
dunia industri tekstil dan pelanggaran terhadap hak kepemilikan," melalui
proses yang panjang akhirnya kalimat itu mulai terucap. Terlihat berbagai
wartawan tengah jeprat-jepret foto
tak ingin ada satu hal pun terlewat.
*****
"Kita harus lebih banyak belajar
ma, ini adalah Pembelajaran yang begitu indah ma. Dengan ini semua kita bisa
bebuat lebih baik ke depannya," ucapan pak Hutomo nyaris seperti pidatonya
di hadapan pejabat yang lainnya.
"Tapi....," suara itu ia
gantungkan, pak Hutomo pun menambahinya "Tak ada tapi-tapi. Papa ngerti
mama mikir gengsi kan? Sudahlah ma, dengan hal ini mama sudah menjadi guru
sekaligus pemeran dalam pelajaran berharga ini," mang Fara begitu terharu
mendengar ucapan tuannya itu. Tak begitu lama bagi Fara menjatuhkan air
matanya.
"Semoga pa!," senyumnya
tersungging anggung penuh seakan kemenangan itu dipihak mereka.
PT. XERO STYLE berhasil menang atas
hak paten kepemilikan batik yang diproduksi oleh pabrik tekstil yang dikelolah
oleh mak Sulis. Kesalahan terbesar mak Sulis adalah kurang memperhatikan batik,
karena batik juga perlu didaftarkan layaknya akta kelahiran.
0 komentar:
Posting Komentar