Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

Minggu, 22 Januari 2012

Dari Angkot Hingga Pada Pencapaian


Saya nggak panik. Saya juga heran mengapa saya enggak merasa takut. Padahal, saat itu saya sedang mengelilingi kota bali sendiri dengan angkot. Dan betul, saya NYASAR!!!!!.

Awalnya, tujuan saya adalah toko elektronik, karena baterai kamus elekronik saya habis. Ya, saya kira setelah hampir seminggu di Bali, akan lebih melancarkan conversation yang pas-pasan. Ujung-ujungnya e-kamus pilihan terakhir apabila bercakap dengan turis asing. Sekedar say hello! ato can i help you?. Sebatas itu saja. Padahal saya hanya mendapat libur sepuluh hari dari dua minggu liburan semester gasal.

Nah, toko sebenarnya akan buka jam 09.00. Saat itu masih pukul 07.40. Angkot yang saya tumpangi sebenarnya benar, yaitu kode B. Lah, kok bisa nyasar?

Yak, angkot-nya sudah benar, tapi saya malah pergi ke arah kebalikannya. Alhasil: saya menjauhi arah kota dan entah sekarang berada di mana. Setelah menyadari kebodohan itu, saya pun spontan tertawa. Beberapa orang melihat saya dan mungkin menganggap saya turis aneh tertawa-tawa sendiri. Gini-gini orang pasti menyangka saya orang Korea (ngarep banget!!!!). Bodo amat, dalam hati saya mengucap rasa syukur karena diberikan pengalaman ini. Entah mengapa, saya masih yakin hari itu nggak akan terlupakan.



Hari itu saya terselamatkan oleh seorang mahasiswa disitu yang juga salah satu penumpang di dalam angkot. Dia menjelaskan dengan logat inggrisnya. Mampus benar saya waktu itu. Saya hanya mengangguk menanggapi ucapannya, yang saya simpulkan bahwa saya harus kembali naik angkot yang sama dan berhenti di halte terakhir.

"Terima kasih ya Kak!" gadis itu terkejut mendengar responku, kami tertawa atas kesalah pahaman itu. Ternyata tak salah,wajahku mengalihkan dunianya. Thanks God!



Saya menyusuri jalan yang sama. Arah sebaliknya tentunya. Dengan nomorangkot yang sama, dan supir yang sama. Hal aneh lagi-lagi menghampiriku lagi. Tatapan sopir tadi melihatku dengan nanar dan curiga. "Ya Allah, masak makhluk ciptaanmu ini dicurigai maling!". Maling apa ya? Maling kutang? hehehehe..



Sekitar setengah jam tibalah saya di halte terakhir yang merupakan pusat dari halte di kota tersebut. Kusapukan mata, meneropong toko yang menjual bateraiku ini. Tak butuh waktu lama, saya sudah mendapatkan baterai kamus itu. Sekarang mengobrol dengan orang apapun jadi lebih percaya diri. Saat itu saya putuskan langsung pulang. Khawatir keluarga kakak saya mencari. Tiba-tiba terpikir kemungkinan kalau saya bakal nyasar lagi. Kalau nyasar sampai tempat tujuan sih masih oke, tapi kalau nyasar tak kembali? Duh, terlalu.

Alhasil, saya harus cari orang untuk bertanya. Tentunya orang lokal, kebayang kalau tanya sama bule, bukannya sampai rumah malah nyasar mungkin ke negeri Jiran (lebay!). Kebetulan ada seorang gadis yang dari penampakannya adalah seorang mahasiswi.



Setelah menyapa dan berbicara beberapa saat, saya mulai menyadari bahwa bahasa kami tidak nyambung. Sangat sulit saya memahami bahasa Indonesia yang di campur dengan bahasa daerah Bali. Akhirnya, kami berkomunikasi dengan bahasa awal para manusia: bahasa tubuh. Hasilnya, cukup maksimal, saya harus naik angkot B lagi. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada gadis itu. Saya kira mahasiswi kok bawa tas ransel besar, ternyata penjual minyak gosol. Pantas bahasa Indonesianya kurang lancar. Miris!



Bismillah, saya menaiki angkot itu. Mulai deg-degan, karena masih takut nyasar lagi. Sepanjang perjalanan saya hanya diam. Hingga tak merasakan orang di samping saya memanggil-manggil tak jelas. Dia bule. OMG!!! Pasti dia bakal mengajak saya ngobrol. Pasrah saja!



"Hei" jawabku menanggapinya.

"Are you foreign tourist?"

Ya, sebetulnya dia tak perlu menjawabnya, karena saya sudah tahu dia adalah BULE.

"I am domestic tourist, i stay in there for saveral day. Actually i life in East Java. Do you know East Java Mr....?"

What's your name?" tanyaku buru-buru

"George.."jawabnya.



Saya menceritakan ke dia tentang daerah Bali. Meskipun saya juga tak tahu banyak. Lalu, tentang Indonesia dari budayanya, makanan dan kebiasaannya. George begitu antusias ketika saya bercerita tentang kesenian kuda lumping. Meskipun keterbatasan vocab, rupanya George memakluminya. Dan untungnya, keterbatasan saya kala itu kembali terselamatkan. Kuambil handphone dan kuputar video kuda lumping dari mulai tarianya, mulai kesurupan hingga saat makan beling.



George sempat bertanya mengenai sejarah kuda lumping. Nah, disaat seperti ini kelayakan pemuda Indonesia diuji. Nyesel banget jaman SMP guru kesenian saya cueki dulu. Namun, saya menyarankan agar dia mencari sumber yang lebih banyak saja. Seperti buku dan internet. Perjalanan semakin mengasyikkan. Kuketahui George berkebangsaan Jepang. Aneh kan, biasanya orang Jepang namanya Yamamoto, Naruto, Suneo, Nobita, Honda, Yamaha dan apalah itu. George ternyata menikah dengan perempuan Jepang, kalau nggak salah di Toyama-Shi. Dan yang bikin saya terus menggoda Mr. George ini mereka adalah pengantin baru yang lagi honey moon. Oh, so sweet!

Waktu berjalan semakin cepat. Ah tidak, angkotnya yang lebih cepat. Kami harus berpisah. George berhenti di sebuah penginapan.



"Arigatoo Gozaimasu!"

"Iie do Ithasimashite!"jawabku yang artinya 'sama-sama'.

Kami pun harus berpisah.

"Good Luck!" ia menyemangatiku melalui luar jendela.



Tak lama aku sampa juga di rumah keluarga kakakku.

Pengalaman tersebutlah yang berhasil memotivasi saya untuk terus belajar bahasa asing, budaya dan tetek bengeknya. Syukur Alhamdulillah, tahun ini saya mewakili Jawa Timur dalam program exchange student YBA ke tahap seleksi nasional. Namun, saya harus bangga terhenti di seleksi ini. Karena dengan gagalnya saya, kesadaran akan kurangnya ilmu semakin bertambah.







Ingat, dimana kita berada jadilah manusia yang biasa dari kebiasaan anda.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites