Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 24 September 2012

Elegi Sahabat


Udara begitu dingin. Mengerogoti tubuh menyisakan ngilu yang menusuk tulang. Gemericik gerimis diluar melambai menyurut birahi. Jalanan sepanjang Messacuset Country merangkakkan hujan yang semakin menjadi. Tak ada salju setiap bulan terakhir. Udara bulan Desember yang sudah 3 tahun aku lalui disini seakan mudah aku hafal. Entah mengapa setiap Desember datang, nyaliku seakan padam. Semua kekuatan yang menjadikanku bertahan disini, sekejap luluh. Aku mencoba menerawang kejadian itu. Sudah lama memang, namun tak mudah untuk dilupakan.

*******
Aku sendirian.
Menatap hamparan sabana yang belum pernah aku temui sebelumnya. Tak ada pandangan istimewa di depanku. Semua seakan diam. Entahlah hal apa yang membuatku terus berlama-lama di tempat ini. Satu menit tak ada sesuatu yang menarik. Menit kedua juga demikian. Ketiga dan keempat bahkan satu jam lamanya aku terpaku. Hanya memandangi ilalang yang diterpa angin.
Aku mulai bosan.

Aku mengikuti langkah kaki yang membawaku menjauhi tempat itu. Suara gesekan sepatu kets yang kupakai menjadi nada tersendiri. Terdengar suara lain yang aku yakin bukan aku yang membuatnya. Suara itu terus mengikuti ritme langkahku. Kulirik sekelilingku. Kosong. Aku berhenti karena merasa ada sesuatu yang mengikutiku. Tak ada siapapun di tempat luas ini. Hanya ilalang yang tetap bergoyang serta angin yang berkolaborasi dengan kesibukannya hujan. Tak lama seakan bulu kudukku merinding. “Ah, persetan!”. Aku terus berjalan menapaki arah yang sepertinya tanpa batas. Tarian ilalang kini mulai tak berirama. Goyangannya pun liar menciptakan penampilan yang menakutkan. Terlintas di benakku sosok Suzanna hantu yang melegenda. Film klasik yang belum lama ini aku tonton di laptopku. Ia bersembunyi di antara ilalang yang tengah bermain liar. Terlihat kembang sundel yang sering menghiasi gulungan rambutnya. Ia menatapku tajam. Aku bergidik ngeri. Aku menghindari tatapan yang membuat keringatku mengucur deras. Aku berlari dengan tertatih-tatih. Seakan Suzanna mengejarku. Menerkamku dan membuatku limbung dalam dekapannya. Ia tak berhenti disitu, aroma kembang sundel menyeruakkan aura mistis. Tawanya yang khas memecah angin yang bersiar-siur. Tawanya memaksa masuk paling dalam dari rasa ketakutan manusia.

Aku terjebak di tengah angin dan hujan yang mulai mengganas. Di tempat asing dengan suasana mencekam. Aku mempercepat langkah, menepis segala praduga dan pikiran yang meluap-luap bagai lahar di kepala. Ini adalah ketakutan semu. Aku berlari menghindari tempat terkutuk ini. berusaha menghindari tangan-tangan yang asing menyentuhku. Dari ilalang yang menjuntai tinggi itu, Suzanna menerkamku tiba-tiba. Menyeretku ke tengah rerimbun rerumputan. Dengan ganas ia membuka pakaianku. Secara paksa. Aku mencoba melawan, tapi gagal. Ia menelanjangiku hingga raut senyum tergambar di wajahnya. Keringatku mengucur. Tak hanya sampai disitu, tangannya yang terubah kokoh kini mencengkeram leherku. Ia jilati leherku terus ke atas hingga hampir menyentuh bibirku. Ia terhenti. Mungkin keringatku tak sedap baginya. Aku salah, cengkeramannya semakin kuat. Dengan kuku yang menghitam runcing ia tusuk bibirku. “Arggghhh,” aku merintih pilu. Aku mencoba meronta tapi adegannya kembali terulang pada mataku. Ia cungkil dan ia keluarkan perlahan. Ia bisa melakukannya. Mataku ia mainkan seakan itu sebuah gundu. Darah yang memoles pipiku keluar segar. Amis dan merah kental.
Aku meraung.

Arrrrrrrgggghhhh!!!!!!!

Riaaaaannnnnnnn!!!!!

Sahabatku Mr.Linco mengguncangkan tubuhku. Di goyangkan tubuh ini hingga aku tersadar. Di berikannya minum yang biasa aku letakkan diatas meja kerjaku. Ia berkata aku menceracau sambil berteriak-teriak. Mimpi yang sama seperti mimpi-mimpi yang hadir pada malam-malam Desember sebelumnya. Mimpi yang selalu meneror kehidupanku. Mimpi yang membuat hidupku kacau. Dan mimpi yang membuatku mengingatkan pada seseorang. Nafasku masih memburu. Butiran jagung cair keluar dari pori-pori kulitku.Di luar angin berhembus kencang. Hujan di luar rupanya sudah reda. Aku berdiri dari kursi kerja yang telah menidurkanku. Kuberjalan menambahkan kayu bakar pada perapian. Kutatap jendela kaca tepat di atasnya. Sengaja aku berlama mencerna dan menyimpulkannya dengan rona malam. Sesuatu yang aku sendiri sudah memprediksi.
Kubenamkan kembali wajah dalam bantal. Mencari kembali serpihan ketenangan dalam tidur menjelang dua dini hari.
*******

“Lebih baik kau pulang sejenak, ambil cuti saja. Toh selama ini cutimu belum kau gunakan sama sekali,” Hera tersenyum menatap kegundahanku. Hera adalah rekan kerja sebangsaku. Garis Jawa yang berkombinasi dengan Thailand tak menampik mempunyai tubuh yang proporsional. Awal aku kenal dengan dia ketika masa-masa kuliahku dulu di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Tak ada hubungan spesial antara aku dengannya, karebna perbedaan agama menjadi alasan kami berkenalan lebih jauh. Ia menghormati agama nasraninya sedangkan aku menjunjung tinggi islamku. Namun begitu, rasa saling menghormati selalu tercipta diantara persahabatan kami.

“Aku takut dia masih tak memaafkanku Ra,” kali ini aku mulai mengkapkan rasa bersalahku padanya.

“Sudahlah Jef, seiring waktu berlalu pasti ada penyesalan atas masalah kalian. Aku yakin, tak hanya kamu yang mengalami ini. Dia juga pasti menyadari kesalahanmu,” aku mengangguk. Di berikannya tissue itu dari dompet make up-nya.
*******

“Kau penghianat Jef, tega-teganya kau hancurkan duniaku. Apa salahku hingga kau berbuat begitu, heh..!!!!,” Rian menahan amarahnya. Di genggamnya tangan itu. Ia sudah siap untuk meninjukan kepalan tangannya.

“Maaf Yan, aku tak bermasksud melakukan itu poadamu. Demi tuhan Yan, aku menyesal,” Rian hanya diam. Tersirat kepedihan pada matanya. Tangannya mulai melonggar.

“Sudah dari awal kubilang jangan terlalu percaya wanita itu. Kau sudah termakan perangkapnya. Bukan hanya itu, kau tahu apa yang terjadi dengan aku dan juga keluargaku?,” Aku terus menunduk menahan malu menghindari tatapan matanya.

“Kau benar lebih mementingkan wanita pujaanmu itu. Tak sadar kau tak mementingkan hatiku Jef. Aku dengan Rani bertahun-tahun merintis usaha ini. Dan akhirnya usaha itu semakin berkembang. Lalu, kau datang. Aku sudah menganggapmu sebagai saudara sendiri Jef. Akupun pernah berkata jangan terlalu percaya pada wanita yang baru kau kenal. Dan ini hasil dari kelengahanmu. Tak lama lagi kita akan ditendang dari rumah ini. Kau bodoh Jef! Bodoh!!!!!! Pergi kau!!!!!!!,” Rian begitu emosi. Terlihat Mbak Rani menenangkan suaminya. Aku melangkahkan kaki keluar rumah yang telah memberiku arti selama ini.
*******

Aroma Zamrud Khatulistiwa meyeruak di hidungku. Masih tak percaya aku telah kembali ke tanah perantauan ini. Rasa ini persis seperti pertama kali aku meninggalkan kota ini. Tak habis waktu aku mengingat pertengkaran dengan Rian sahabatku. Aku semakin gundah tatkala taxi yang aku sewa memasuki pekarangan rumah Rian. Terlihat sepi rumah yang masih sama 3 tahun yang lalu. Tak ada orang yang berseliweran yang dapat menandakan rumah itu berpenghuni.

“Maaf mas, ini rumahnya Mas Rian kan?,” tanyaku pada seorang yang berada pada rumah sebelahnya.

“Tidak mas, Pak Rian dan istrinya pulang ke rumah orang tuanya di Gunung Kidul,” ternyata benar. Rumah itu bukan milik Rian dan Mbak Rani lagi. Penyesalanku semakin bertambah besar. Orang itu membalas ucapan terima kasihku. Pernah 5 tahun lalu aku diajak Rian kerumah orang tuanya. Saat itu hubunganku memang lagi baik-baiknya. Aku lupa-lupa iongat alamat rumah ibu Rian. Jalanan yang masih beralaskan tanah membuat kesan tersendiri. Tak seperti dulu, kanan kiri jalanan sudah di bangun rumah-rumah. Aku hampir lupa gang menuju rumah ibu Rian. Semua berubah selama beberapa tahun belakangan. Hingga aku harus turun jalan kaki karena taxi tidak bisa memasuki gang yang akan mengantarkanku bertemu Rian. Sudah dekat. Tak butuh hitungan kilometer lagi. Cukup beberapa langkah rumah bercat biru tua terpampang jelas. Bangunannya masih seperti yang dulu. Bahkan kolam ikan buatanku dengan Rian masih terjaga.
Terlihat sosok itu. Lelaki berambut ikal tengah menyuapi seorang bocah. Apakah itu anaknya?  Apakah ia ingat dengan aku? Apakah perlakuannya akan sama seperti waktu itu?. Pikiranku mulai ragu untuk melangkahkan selangkah kakiku. Hinga dia menyadari kehadiranku.

“Kamu….,” aku mengangguk pelan.

“Rian, maafkan salahku selama ini. Aku mohon Yan, aku terbebani atas semua kejadian kala itu,” Rian masih memasang wajah melongo. Seakan aku adalah hantu baginya.

“Jefri, benarkah itu kau Jef?,” aku mengangguk. Rian mengangkat bahuku yang tengah merengkuh kakinya. Ia dekap aku layaknya aku adalah istrinya.

“Yan, maafkan aku…..,” bisikku pelan di telinganya.

“Sudahlah Jef, aku tak bisa berlama-lama marah denganmu. Kau sahabatku. Kemana saja kau selama ini?.”

“Maaf Yan, aku tak ingin buat keluargamu susah lagi. Aku pergi dan aku mencoba mencari pekerjaan. Hingga Hera mengajakku bekerja di Boston Yan, kau masih ingatkah dengan Hera sahabat kita?,” Rian mencoba berpikir. Membuka kembali memori yang selama ini tertimbun.

“Hera yang sering bantu kamu mencari bahan skripsi dulu Yan!,” aku mencoba membantu mengingatkannya.

“Oh iya, aku baru ingat. Bagaimana kabarnya?”

“Baik yan,” jawabku singkat.

“Berkat dia aku berani menemuimu. Aku sudah kuat bila perlakuanmu masih seperti saat itu,” tambahku.

“Memang Jef, kemampuan bahasamu dari awal kuliah sudah bagus, pantas kau diterima di sana. Sudahlah 
aku sudah melupakan itu,” Tiba-tiba suara ibu-ibu mengagetkan perbincangan kami.

“Jefri……!!! Kamu kan itu?,” Mbak Rani masih ingat denganku. Aku menjabat tangannya. Mbak Rani ikut mengobrol juga. Tak disangka Mbak Rani semakin keibuan.

“Anakmu Yan?,” tanyaku ketika gadis kecil naik ke pangkuannya.

“Iya,” jawab Rian yang kemudian dilanjut dengan ucapan Mbak Rani.
Lama perbincangan kami. Hingga membahas masing-masing pekerjaan kami sekarang hingga masalah 3 tahun yang lalu. Ternyata keluarga Rian sudah memaafkanku sudah lama. Bahkan meraka mencariku, karena khawatir atas riwayatku yang tak mempunyai keluarga di sini. Rian dan juga Mbak Rani ternyata bekerja sebagai buruh pabrik rokok. Sungguh berbeda saat dulu mereka mengelola TOSERBA keluarganya.

“Oh ini Yan, hampir aku lupa. Aku ada oleh-oleh sedikit,” aku serahkan bingkisan itu pada mereka.

“Boleh dibuka Yan?,” aku mengangguk kecil. Aku bersiap melihat dunia mereka yang tak lama akan berubah.

“Surat tanah?!?!,” Rian nampak kebingungan begitu pula mbak Rani lalu melihatku.

“Baca dulu Yan?,” jawabku.

“Maksudnya ini apa, aku tak mengerti Jef!,” suara Rian kini mulai kalut. Di lemparkannya surat itu ke pangkuanku. Entah apa yang ada di pikirannya.

“Untuk keluarga mu Yan, itu surat beli tanah TOSERBAMU dulu,” terlihat Mbak Rani mulai mengerluakan air mata.

“Bagaimana kamu mendapatkan ini Jef, kamu menemui wanita ular itu?”

“Bukan Yan, wanita ular itu telah lama menjual TOSERBA kalian, seminggu setelah aku memberikan surat tanah milikmu dulu. Maafkan aku Yan, aku buta karena cinta. Aku tak melihat ada kalian yang sudah menganggap aku keluarga. Ini aku beli kembali untuk aku kembalikan pada kalian. Maaf bila aku selama ini meyusahkan hidup kalian,” linangan air mata Mbak Rani membuat aku dan Rian juga terbawa suasana.

“Terimalah Yan,” aku memeluk Rian. Hal ini yang lama aku rindukan dari hangat sahabat yang menyayangiku lebih dari sekedar keluarga.
Persahabatan bukanlah tentang apa yang kita punya tetapi tentang apa yang kita berikan, yaitu kasih sayang dan maaf yang setulus hati…..

(J. Setyawan)
   





Sabtu, 08 September 2012

Bapak… Andai Aku Terlahir Istimewa


Gili Ketapang, Januari yang memerah…

    Aku gagal. Manusia terbodoh sepanjang kehidupan keluarga. Semua telah aku abaikan untuk terfokus pada satu yang kuanggap tepat. Dari kehidupan sekolah yang kutinggal selama berminggu-minggu. Ketidak hadiranku dalam kelas bimbel, hingga keluarga yang kuasingkan atas mauku. Semuanya atas kehendak egoku yang terlampau imajiner. 
    “Aku bisa!”. “Akan kubuktikan pada mereka!” seringkali berbagai perdebatan mewarnai hariku yang kian buruk. Aku percaya pada dasarnya manusia terlahir istimewa. Sejak kecil aku merasakan diriku berbeda. Aku tak menyukai keramaian. Aku merasakan tak pandai dalam berhitung. Bahkan aku juga menyadari diriku tak terlahir untuk menghabiskan waktu dengan hitungan fisika. Duniaku adalah sedetik terlebih berharga dengan kesunyian. Kedamaian yang harusnya kuraih dari menulis serasa ada yang mencegah. Aku terbiasa untuk diam diantara ribuan komunikasi pasang mata. Tapi jangan salah, aku juga bisa tersenyum. Namun senyumanku sebatas tulisan yang tertuang melalui pena yang kugerakkan. Bagi orang berilmu kegemaranku terlampau gila. Bagiku tak sebanding dengan kerumitan menghitung luas bidang dengan trigonometri. Itulah yang menjadi kekuatanku untuk hidup,  bahwa aku terlahir tanpa kerumitan, dirumitkan dan merumitkan.  
***
    Dalam tetesan embun sebatang api mengasap diantara keheningan pagi. Bapakku sudah muak dengan seminggu ini aku tak bersekolah. Bukan karena aku sakit-sakitan melainkan jiwa yang terlebih enggan menyentuh benda selain secarik kertas dengan pena. Kesibukkan untuk berimajinasi terpaksa terhenti ketika bapak yang selama ini diam menampar mukaku. Bukan kekagetan saja, melainkan seperti seenggok parang yang memaksa masuk tenggorokanku. Sangat tajam berusaha mengiris trachea lalu mematikanku. 
    “Anak goblok! Mau jadi apa kau, hah!” bentakan bapakku pagi itu kian berbedah. Ada semacam penyesalan yang tersirat dari makiannya. 
     Aku terkapar tak berdaya meratapi detakan detik yang baru saja berlalu. Ada sebulir kepedihan keluar dari mata. Merembes pelan melalui lekuk pipi menyusurinya hingga jatuh. Disaat demikian masih sempat aku menguatkan diriku sendiri. Aku memerintahkan semua bagian tubuhku untuk menahan kenyataan ini. Aku harus kuat.
***

Gili Ketapang, Sampai kapan, Aku?

    Aku mulai bersekolah kembali.

    Beberapa lalu lalang pelajaran sempat menjadi tontonan sesaat. Matematika yang menyuguhkan logaritma kutepis mentah-mentah. Beberapa hari sekembalinya aku bersekolah hanya kupusatkan untuk membuat komik. Sudah berlembar-lembar sejak tiga hari yang lalu. Hobiku merangkai kata lalu menuliskannya dengan gambaran yang bercerita. Meskipun berlembar-lembar tak ada satupun teman sejawat yang mencoba memuji karyaku. Sekedar berucap “waw bagus” bahkan bertanya “bagaimana kau membuatnya?” pun tak ada. Bukan aku tak memamerkannya, itu terlebih bodoh seukuran manusia macam aku. Sudah jauh hari mereka mengetahui aku bukanlah anak 16 tahun yang tak pandai melukis. Jangankan melukis, membuat bidang datar saja aku perlu penggaris. Bukankah aku bodoh? Sebodoh-bodohnya orang yang bersekolah? Ini tak akan terjadi bila bukan karena seorang pendidik yang seakan-akan membenarkan semua perkataannya. Dari sinilah awalku berbalik pada jalan yang sepatutnya lurus. 

-flash back-
    “Kamu bisa apa? Maumu apa? Anak gelandangan juga bisa menggambar rumah! Apalagi kandang ayam seperti gambar jelekmu ini!” beberapa cacian dari beliau sungguh merendahkanku. Aku tak menangis, karena aku sudah lelah setiap tugas menggambar selalu menguras air mataku.
    “Orang hidup itu harus punya bakat! Orang bodoh, bakat wajib punya. Kalau sudah bodoh, bakat tak punya, mau hidup makan apa!” Oh Tuhan, ini merupakan puncak aku direndahkan. Hatiku hancur berkeping-keping, salahkah jika aku terlahir tak istimewa?
-end flash back- 

    Aku tak ingin memikirkannya lagi. Bahkan mengingat kejadian ini sangat membuatku semakin membenci guruku. Aku tak terlahir istimewa, tapi aku tak pernah berbuat menyakiti orang. 
Hari ini aku kembali dipertemukan dengan beliau; guru seni rupa. Aku tak bisa membayangkan hal apalagi yang beliau perbuat setelah terakhir membuatku malu dihadapan teman sekelas. Aku tak bisa dan tak kuat menahan rasa sakit ucapan mulut siletnya. Seminggu lalu aku absen pelajarannya, ini akan menjadi bahan caciannya untukku. Lama berselang, sosok tua bertubuh tambun yang kubayangkan tak datang, malah kini bapak kepala sekolahku yang menggantikannya mengajar. Walaupun kebanyakan hanya diisi dengan gurauan. Bel istirahat pulang berbunyi, dan tak ada angin tak ada hujan aku dicegah bapak kepsek dan beliau mengajak berbicara diruangannya. Ada guru seni rupa itu, bapakku dan kepala sekolah. Hatiku kian miris tiga orang yang tak pernah terbayangkan bersamaan dihadapanku.
***

    Baru kuketahui atas keberanian bapak mengungkapkan masalahku kepada kepala sekolah semua menjadi lebih baik. Tak ada lagi perlakuan semena-mena semenjak hal itu. Semua keseharian yang terobsesi atas ego, mulai tersapu pada sembari doa dan usahaku.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites