KARENA
KUSANGGUP...
Semua
seperti mimpi. Semenjak kuberkenalan dengan sosok perempuan yang behasil
membawaku pada dunia roman. Seperti lembayung senja dan aku terduduk di atas hamparan siluetnya. Lalu perlahan
menghilang dan ketika itulah sosoknya jua buatku padam sebagai lilin tuhan.
****
Rabu,
12 Januari 2011...
Masih
kuingat, senja sore itu adalah yang terpanjang dari senja biasanya. Senja yang terekam oleh dua
sejoli pada awal jumpanya. Dua sejoli itu adalah aku dan dia. Tak perlulah aku
menyebut namanya, sebut saja dia "Gadis Senja". Tak ada obrolan menarik untuk
ukuran perkenalan pertama. Masih ada perasaan setengah-setengah sekedar mencari
keingintahuan masing-masing. Memang
terasa canggung bagiku yang memang pendiam. Aku sempat mengutip
beberapa kalimat dari mulutnya. Yang
justru
itu membuat aku tersedak dan mencerna baik-baik kata per kata ucapannya.
Minggu
ke-dua Februari 2011...
Langit
Februari meranggas tak ubahnya pohon jati. Kuning merekah sinarnya tajam
menusuk pori kulit terkecil sekalipun. Kejadian sebulan lalu, membuat
hubunganku dengan "Gadis
Senja"
semakin erat. Meskipun hubungan SLJJ perantaranya. Ada keinginan yang muncul
untuk bertemu. Suatu waktu pernah keluar lagi kutipan itu darinya. Entah sadar
atau tidak itu membuat aku kembali dilema. Cukup! Sudah kedua kalinya ia mengucapkannya.
Benar
saja, sorenya kami sepakat untuk bertemu kembali. Hal yang tak terduga kembali terucap darinya di tengah lalu lalang jalan raya.
Namun, ini beda, bukan kutipan yang terakhir kali lalu. Mendengar itu aku mencoba bersikap
sewajarnya. Tak ingin aku kacau dalam keadaan berkendara. Aku beruntung
memiliki ilmu sandiwara yang kupelajari di sekolah. Saat itu kulajukan kencang
motorku, entah bagaimana hingga bermuara di sebuah pantai.
Sepanjang perjalanan menuju pantai itu, sesekali ia
mengagumi panorama yang jarang ia lihat. Memang beberapa kawasan di Pasuruan
begitu elok. Tak banyak aku menimpali kegembiraannya. Di pantai itu, ia begitu
asyik bermainan dengan ombak. Dalam keadaan kacau, aku lebih memilih diam di atas
motor. Aku mengingat kutipan yang masih terekam jelas saat senja dulu.
"Aku tak masalah bila kau tembak (baca: menyatakan
cinta) aku saat ini". Hampir seminggu aku mengolah perkataannya. Kutipan
pertama yang buatku mendilema.
Hingga tiba ketika aku sudah siap membangun cinta itu, ia
kembali meyakinkanku kedua kalinya. "Kapan kau sempat nembak (baca:
menyatakan cinta) aku?". Itu kutipan keduanya. Ya, aku mulai percaya akan
cintanya. Bagiku, kata awal terlalu singkat untuk memulai entah bagi dia.
Memang setelah pernyataan keduanya itu, aku merasakan
perbedaan yang mencolok dari sikapnya. Dari yang biasanya dia sms dulu,
semenjak itu harus aku yang mendahului. Namun, perhatian dan kasihnya masih
sama seperti biasanya. Lalu, aku beranjak dari kutipan kedua melanjutkan ke
ucapannya tadi. Tidak!!! Aku tak ingin mengingat!! Kuamati dirinya yang tengah
duduk di batu besar. Sesekali mata kita beradu, dan selalu akulah yang
menyudahi. Tak bisa secara terus menerus menatap mata senjanya yang akan buatku
canggung. Oh Lebay!! Kembali melewati hamparan alam yang menggoda mata. Tak
terasa tangan kiriku menggenggam tangan kirinya. Jalanan menurun, tak
kuhiraukan lagi satu tangan untuk menyetir. Hatiku was-was antara pikiran yang
berkecamuk selama ini. Berharap ingin menuntaskannya segera. Senja indah
menyinari tubuh kami. Kutafsir kala itu masih pukul 05.30 sore. Entah keyakinan
apa yang buatku memberhentikan laju motorku. Tepatnya pada tikungan menurun
yang begitu tajam. Kumasih berperang dengan pikiranku di atas motor. Sementara
ia tengah asyik berfoto. Memang wanita, tak bisa lepas dari naluri narsisnya.
Tak lama, ia menghampiriku. Ia mengajak pulang. Lalu, aku mengiyakannya. Namun,
kembali kekuatan ajaib itu muncul. Aku balikkan tubuh menghadap kearah
wajahnya. Kupengang tangan dan kusapukan mata dari ujung jalanan itu.
"Aku cinta kamu, aku mau cinta ini menyatu"
perlu waktu satu menit untuk mengucapkannya. Aku malu, kualihkan wajahku
menatap senja yang akan tenggelam. Aku juga sudah siap kata penolakan itu
keluar darinya.
"Aku 'tlah menjalin hubungan dengan orang lain,
meskipun jarak membentangkan kami, tetapi aku mencoba setia" kembali
kutipan ketiga keluar dari mulutnya. Entah kekuatan apa hingga aku berani
menyatakan cinta pada gadis yang jelas-jelas sudah menjalin cinta dengan lelaki
lain. Tak kusadari ia telah beranjak menjauh dari hadapanku. Tak lama tubuhnya
kembali sambil memberikanku setangkai kembang liar dari tepi jalan. Ia
mengatakan, apabila ia memberikanku tiga tangkai bahwa ia menerima cintaku.
Kami pulang, sepanjang perjalanan belum ada tanda-tanda kembang kedua ia
berikan lagi. Harapanku perlahan hilang seiring tenggelamnya senja kami. Kurasakan
dekapan tubuhnya menyenderkan kepalanya di bahuku. Aku semakin tak mengerti
tingkahnya. Lambat, ia dongakkan lagi kepalanya. Di selipkan dua tangkai
kembang itu sekaligus ditangan kiriku.
"Benarkah kau menerimaku?" tanyaku tak percaya.
Namun hanya anggukan yang kudapat.
"Lalu, bagaimana seseorangmu di kota lain itu?"
tanyaku agak canggung.
Dari kaca spion kulihat ia berfikir sejenak,"Denganmu
aku milikmu, disana aku miliknya". Aku kaget mendengar ucapannya. Sosoknya
kini buatku ragu. Ia menjalani dua hati, dua kasih yang buatnya kapan saja
berubah. Rupanya masalah itu semakin melebar. Aku hanya tersenyum masam. Hatiku
terdalam berkata untuk tetap mencintainya. Rasa memang aneh.
Minggu
ke-tiga Februari 2011...
Ketika senja itu retak...
Seminggu sudah kisah cintaku berjalan. Sudah tiga hari
pula aku tak mendengar kabarnya. Terakhir, ia berpamitan menjenguk pacar
pertamanya di kota Blitar. Bagaimana dengan aku?
Entahlah, dibilang kecewa pastinya namun aku seakan
bungkam. Apalagi semenjak aku menjadi kekasih gelapnya. Hanya pacarnyalah yang jadi
trending topic setiap kami mengobrol.
Seringkali pula ia mengatakan bahwa aku tak perlu mencemburuinya. Memang aku
tak khawatir ia akan menemui pacarnya. Karena terbilang jarak kota Pasuruan
dengan Blitar sangatlah jauh. Tetapi manusia hanya bisa berharap. Selama tiga
hari itu, aku tak diizinkan berkomunikasi dengannya. Sekedar telepon bahkan sms
pun. Kejamnya terduakan!
Awal
Maret 2011...
Senjaku pudar...
Sudah dua minggu setelah hari jadian kami. Aku mencoba
menelepon dia. Tepat saat ia tengah belajar untuk persiapan try out menjelang
UN. Ya, dia SMA kelas tiga, sedangkan aku baru duduk di kelas satu SMA.
Perbedaan usia tak dirasa penghalang hubungan kami. Pacarnya di Blitar ternyata
kelas dua SMA. Lama tak berkomunikasi dia begitu wellcome atas sikapku. Tapi aku menyayangkan sikapnya yang seolah
aku adalah tetangganya. Tak ada kesannya seperti sepasang kekasih. Tuhan,
salahkan jiwa hamba mendapuk dirinya. Ia malah menyuruh aku untuk tak
menseriusi hubungan itu. Ya, sepanjang obrolan yang tak menarik itu,
terselipkan pujian untuk pacar pertamanya. Sesekali ia menceritakan jaket dan
flashdisk serta beberapa barang lain pemberian pacarnya. Mendengar itu, aku
sangat kecewa. Tak jarang ia juga memuji fisik "Orang Pertama"
tersebut. Dan setiap kali membahas pacarnya, aku selalu menangis. Entahlah,
tetapi aku tak mempunyai daya untuk berontak. Karena aku mencintai dia.
"Lalu yang kemarin apa artinya?" tanyaku
mengingatkan pada hari aku menyatakan cinta itu.
"Lupakan, aku tak ingin buatmu sakit hati"
begitu entengnya dia mengeluarkan kata najis tersebut.
"Aku ingin menghilang dari kalian, ku ingin tenang
bersamanya". Aku tercekat mendengar penjelasan yang tak kuduga. Sesekali
isakanku terdengar dari ujung teleponnya. Namun, sepertinya sosok gadis senja
itu, tak memperdulikan keadaanku. Ia juga mengatakan, bukan hanya aku saja yang
sakit hati. Tetapi masih ada seseorang yang lebih sakit hati. Dialah orang
pertama yang memacari “Gadis senja” ku. Sehingga jelas sudah, aku bukanlah
orang keduanya melainkan ketiga di hatinya. Ia lebih memilih orang kedua di
kota Blitar itu.
"Sudahlah dek, aku belajar dulu" hanya itu
kalimat terakhir darinya. Ia memanggilku adek, itu artinya tak ada hubungan
istimewa lagi antara aku dan dia.
Semenjak peristiwa itu aku tak pernah lagi
menghubunginya. Bahkan ia lebih dulu memblokir pertemananku di facebook. Tak
ingin kalah start lagi aku mengganti nomor hapeku segera setelah aku
mengirimkan sms perpisahan terlebih dulu. Ya, aku tak bisa marah. Toh ini aku
yang bermain hati. Keseharianku di sekolah tak semenarik biasanya. Namun,
perlahan aku berkat motivasi sahabatku lambat laun aku mampu berkonsentrasi
menata masa depanku. Tak kusadari beberapa bulan aku masih menyimpan sesuatu
dari “Gadis Senja” itu.
Di dalam toples itu, tiga tangkai bunga telah
mengering. Seperti hatiku padanya kini. Kubuang semua tentangnya berharap tak
ada lagi virus yang kemungkinan menginfeksiku suatu saat.
Dalam senja lapang, setiap waktu...
0 komentar:
Posting Komentar