Entah takut atau malu. Didit dan Lili kembali duduk di kursi guru, mereka berdua tak berani mengeluarkan
sepatah kata apapun. Akupun mulai berbicara. Hatiku sudah kembali dingin.
"Maaf kalau kakak buat kalian takut, kakak cuma ingin kalian niat sekolah. Kalau kalian nggak ada niatan buat sekolah, kasihan oarang tua kalian yang ada dirumah. Apa kalian tidak ingin menjadi orang yang sukses? Apa kalian tidak ingin menjadi orang hebat? Dan menjadi orang yang bisa membuat nasib bangsa ini lebih baik?," suaraku kini mulai mengiba.
"Siapa yang ingin jadi presiden?,"suaraku kini dibalasnya dengan angkat tangan mereka.
"Jadi dokter? Polisi? Guru?," semua pertanyaanku mereka jawab dengan angkat tangan. Lalu kembali ku melanjutkan ocehanku.
"Bagus si Beni ingin jadi polisi, Rita jadi guru, kalau Dina jadi dokter dan semuanya saya do'akan sukses. Tetapi, kalian harus rajin belajar, harus patuh sama guru. Kalau guru menjelaskan harus di perhatikan," ucapanku mirip sekali dengan guru TK ku dulu.
"Janji ya......?????," tambahku dengan mengangkat jari kelingking tanganku.
Bel pulangpun berbunyi. Giliran kelas satu sampai tiga yang memasuki kelas. Tiba-tiba saja aku tak enak badan. Aku meminta izin pulang pada kepala sekolah. Lili rupanya membarengiku sampai ke rumah. Entah kenapa Lili seakan menyihirku untuk mengaguminya. Di tengah perjalanan aku bertemu Salimah yang tengah berangkat sekolah.
"Kok baru berangkat dek?,"tanyaku.
Namun dia tidak membalas pertanyaanku. Aneh sekali.
Sesampainya dirumah Lili membuatkanku semangkok bubur dan jus alpukat. Ia sungguh memperhatikanku layaknya seorang istri.
"Ah....nggak mungkin, aku tak boleh mengingkari janjiku," kembali ku teringat akan pesan bapak ibuku di Jakarta kalau tidak menjalin hubungan sebelum lulus kuliah. Aku benar menghormati beliau.
"Mikirin apa Rey sampai bubur didepanmu tak kau gubris?"
"Nggg...anu, itu...nggg..gak deh,"jawabku bingung.
"Apa, ayo cerita?,"paksa Lili.
"Aaaa...aku suka kamu, aku sayang kamu," tenggorokanku begitu keluh rasanya.
"Aku juga Rey,"jawabnya singkat. Aku semakin bingung. Haruskah aku bahagia karena kami mempunyai rasa yang sama atau sedih karena aku teringat janjiku.
"Terima kasih Li, tapi aku memegang amanah ibu bapakku Li. Aku tak bisa menjalin hubungan selama aku kuliah"
"Tenang Rey, sampai kapanpun aku tetap menunggu waktu itu tiba," Lili memelukku bahagia. Namun aku menyadari seseorang melihat kami dari luar jendela. Lalu orang itu menghilang. Kami menyadari kehadirannya.
Sore harinya kami mempunyai janji untuk mengajari masyarakat desa untuk membatik. Kegiatan ini kami tujukan agar warga disini mempunyai keahlian yang bisa dijadikan modal untuk mencari peruntungan. Setelah sholat ashar aku, Lili, Didit, Arif pergi menuju desa wilayah barat. Sedangkan ke empat teman lainnya berada di wilayah rumah kost kami. Suasana tempat yang akan dijadikan latihan sangat ramai sekali. Banyak dijumpai gerobak-gerobak es yang berjejer di tepi jalan. Semua warga menyambut gembira kedatangan kami. Hampir 50 orang ikut berpartisipasi baik laki-laki maupun perempuan. Tahap pertama menggambar pola selesai. akhirnya tahap yanh ditunggu-tinggupun tiba. Seusai sholat maghrib kami mulai mewarnai kain putih polos itu.
"Melelahkan ya Rif?,"tanyaku.
"Iya, tapi tuh lihat si Lili tetap semangat walau hari semakin malam. Benar-benar cewek yang tangguh. Pantas jika kemarin IP nya 3,77"
"Kau menyukainya Rif?,"tanya Rey khawatir.
"Sepertinya begitu,"jawab Arif sambil ia melihat perubahan muka Rey. Rey berubah pucat pasi.
"Hahahaha...Nggak mungkinlah aku menyukai cewek yang sudah dipesan sahabat sendiri," Arif rupanya menggoda Rey. Mengetahui itu Rey menjitak kepala Arif.
"Sakit tau!!!,"rintih Arif.
"Biarin"
"Jujur Rey, gue suka ama Lili, tapi aku rela melepas rasa ini. Aku lebih memilih persahabatan ini tetap sampai nanti," ucapan Arif hanya dirinya yang tahu.
"Rif, loe sahabat gue yang paling baik. Loe kapan saja bisa jadi abang gue adakalanya juga gue jdi abang loe"
"Thanks Rey. Loe kalau mau curhat tentang Lili harus beliin gue pulsa dulu"
"Songong banget loe, baru dibaikin dikit udah ngelunjak," cibir Rey pada rekannya itu.
"Gue kan abang loe, mau nggak?,"tawar Arif menggoda Rey.
"Iya deh bang"
"Hahahahaha.....," Arif tertawa penuh kemenangan. Namun hati kecilnya begitu hancur ketika ia mengingat kejadian Rey berpelukan dengan Lili. Tapi, bagi dia persahabatan takkan tergantikan dengan apapun.
"Yuk pulang!!!!!," suara Lili mengagetkan mereka berdua.
"Bentar, nunggu Didit dulu," jawab Rey.
"Emang tuh anak kemana?"
"Tuh ngobrol sama ibu-ibu yang diujung sana,"tunjuk Rey kepada ibu-ibu berbaju merah.
"Haahh...itu mah bonsai Rey,"celetuk Arif.
"Gitu-gitu idaman Didit banget,"tambah Rey. Suasana tawa terus menyelimuti mereka.
Pagi hari yang cerah membiuskan warna mentari pada padi yang tengah menguning. Anugerah Tuhan begitu kental terasa hari ini. Para petani turun bekerja memanen padinya dengan semangat 45. Seharian ini kuhabiskan waktuku dalam gubuk tua. Mengamati mereka penuh tawa. Kerja kerasnya hanya untuk mengganjal perut. Aku rindu bapak ibuku. Hingga tetesan air mata tak lumrah sebagai pelengkap lamunanku. Tak terasa sang Mega terlukis pada kanvas langit. Titik-titik aku satukan menampilkan rona ceria. Entah ini harus ku paksakan. Aku tegar atas diriku. Lagu dari ungu "Yang Pertama" ku setel dengan suara yang keras. Suasana ini membuat mood aku begitu sempurna. Kawan, sahabat dan kekasih adalah ilusi nyata, mereka yang ada, ia yang mampu, ialah kenikmatan. Kenarsisanku kambuh, jepretan kamera HP kerap kali menghentikan lagu yang ku setel.
"Kenapa aku bukan senja? Tak mungkin aku alami ini, senja yang indah bahkan warnanya buatku lupa atas diriku. Aku ingin menjadi senja. Tapi mungkinkah?," aku sungguh rapuh atas diriku. Linangan air mata kembali terurai tatkala teringat kawan, sahabat, bapak ibuku juga dengan dia, Lili.
"Ah, ini lagi," ku rogoh celanaku untuk mencari suatu barang yang kubutuhkan. Tetapi nihil. Aku bergegas pulang dengan tubuh sedikit menunduk. Kepalaku pusing namun aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Kubuka kamar dan untungnya tak ada siapapun dalam rumah itu. kutemukan barang itu dalam tumpukan baju dalam tas ransel itu.
"Oh Tuhan, kuatkan hambaMu ini," ku kembali terisak tatkala melihat darah kental pada sapu tangan abu-abuku. Segera ku ke kamar mandi dan membersihkan wajah dan hidungku. Darah masih merembes pada hidungku. Kuseka dengan air hangat. Lalu ku cuci kain itu.
"Ngapain Rey, kemana aja loe? Tuh dari tadi Lili nyariin loe," ucap Arif mengagetkanku.
"Loe keluar lagi, aku ambilin obatnya ya?," tawar Arif, ku mengangguk pelan. Aku menderita kanker otak entah sudah stadium berapa. Sudah sebulan yang lalu baru ku mengetahuinya. Dan Arif, hanya ialah yang ku beritahu tentang hal ini. Keluargaku sangat tak kuharapkan tahu akan hal ini. Aku hanya ingin membahagiakan mereka.
Sudah menginjak waktu tiga bulan usia kami di desa ini. Pagi ini kami harus berkemas setelah tadi malam menggelas pisah kenang dengan warga. Bebagai proyek telah kami selesaikan selama tiga bulan terakhir. Dari mulai membatik, mengajari warga menari dan bermain alat musik di sekolah dasar telah kami jalankan dengan baik.
"Aku suka kakak," jawabnya singkat.
"Apa yang kamu sukai dari kakak?"
"Kebaikan kakak. Sejak malam itu aku mulai cinta sama kakak. Dari kakak meminjamkan laptop untukku juga mengajari sekaligus,"jawab gadis itu panjang lebar.
"Maaf dek, kakak sudah mencintai mbak Lili dan itupun perasaan yang tumbuh sudah lama," perjelas aku padanya.
"Kakak sudah menganggap kamu sebagai adik, kakak nggak ingin menjalin hubungan lebih, kakak juga belum pacaran sama mbak Lili, karena kakak ingin kuliah dulu. Adek juga harus sekolah yang rajin......," tambahku panjang lebar. Namun sebelu ku menyelesaikan ceramahku Salimah pergi meninggalkanku yang tengah terpaku di beranda rumah.
"Maaf dek, jika kamu terjebak dalam hubungan ini," gumamku lirih. Dari arah pintu Lili keluar membawa barang-barang kami.
"Hei pemalas, ayo bantuin dong," perintah Lili sambil memasang muka cemberut, ku anggukkan kepala segera.
BRUUUUUUGGGGH.......!!!
Suara itu terdengar seperti sesuatu yang jatuh. Firasatku tak enak, ini pasti ulah Rey lagi. Ku tengok keluar rumah. Disana nampak berserakan barang-barang kami. Dan sosok yang ku kenal tengah mencoba berdiri dari sekumpulan barang tadi.
"Rey!!!! Kau kenapa?,"ternyata dia Rey dan kulihat ia nampak menyembunyikan sesuatu dariku.
"Rey!!! Kau tak apa-apa?,"teriakku sekali lagi, tak ada jawaban darinya.
"Hidungmu Rey! Kenapa sampai....".
BRUUUGGGGHH!!! belum sempat ku melanjutkan pertanyaanku dia kembali terjatuh.
"Dimana aku?," ucapnya membangunkan tidurku.
"Rey, dah bangun loe, tadi loe dibawa ke Rumah Sakit sekalian kita langsung pulang, sakit loe kambuh lagi"
"Perasaan loe tadi ke rumah Pak Lurah Rif?"
"Lili udah tahu Rey, tentang penyakit loe. Sekarang dia pulang, sepertinya dia nggak tega liat loe," ujarku.
"Tapi urusan kita dengan Pak Lurah gimana?,"tanya Rey dengan mata terpejam.
"Didit dan teman-teman lain yang ngurus, loe tenang aja kayak nggak tahu Didit aja, ocehannya kayak penyiar radio saja"
"Emang dia penyiar radio kan?," celetuk Rey lalu disertai tawa kami yang menggema sampai keluar ruangan kelas melati ini.
"Aku siap dok, saya siap apapun resikonya"
"Baiklah, silakan mbk tanda tangan perjanjian ini,"ucap dokter itu sambil menyerahkan kertas itu.
"Mari mbak ikut kami," ajak dokter itu menuju ruangan bersama dua orang perawat.
"Saya terima nikah dan Kawinnya Lili Ambarwati Binti Joko Suyitno dengan mahar tersebut tunai"
"Bagaimana saksi? Sah?,"tanya penghulu itu meyakinkan.
"SAH....SAH....SAH,"teriak saksi-saksi pernikahanku.
Hari ini begitu istimewa bagi pasangan pengantin Rey dan Lili. Hangat senyum terlihat dari rona mereka berdua. Terlihat hadir rekan-rekannya dalam acara itu. Lurah desa Sukamaju yang menjadi tempat magangnya setahun lalu juga terlihat gembira. Kehadiran Didit memandu sorak-sorai tamu undangan memberi suasana tersendiri dalam setiap tutur katanya. Benar-benar sebuah perjuangan cinta yang indah.
5 tahun kemudian......
"Hai anak manis, siapa namanya?," ujar lelaki bertubuh tinggi itu.
"Lala om,"jawabnya pendek.
"Lala anaknya siapa?," tanya lelaki itu kembali.
"Papa ye om," ucapnya dengan gaya cabel.
"Om punya es krim buat Lala nih, rumahnya Lala dimana?", lelaki itu membawa Lala menuju arah yang ditunjuk jemari kecilnya.
"Lala, kemana saja kamu?," ucap Rey cemas.
"Ini pa, om ini kasih Lala Es kyim"
"Anak yang pintar Rey, mirip sekali dengan Lili," sahut lelaki itu. Tatapan mata Rey melihat tajam lelaki itu. Berharap jawaban pasti ia dapatkan.
"Rif, benarkah kau itu?"
"Maaf Rey, aku dulu tak bisa hadir di pernikahanmu. Kamu tahu kan aku tak mungkin menangis melihat wanita yang kucintai bersanding dengan sahabat sejati sepertimu," Arif menitikkan air matanya perlahan.
"Iya Rif tak masalah bagiku,"jawab Rey haru.
"Keman Lili Rey?," Arif mendongakkan kepalanya mnuju seisi dalam rumah.
"Lili meninggal Rif, sudah dua tahun yang lalu. Ketika usia pernikahan kami sudah dua, Lili hamil. Lili meninggal karena melahirkan Lala, Rif. Ia memilih bayi di rahimnya hidup daripada dirinya," penjelasan Rey membuatnya membuka kembali kebaikan Lili selama ini.
"Aku hidup untuk Tuhanku Rey, dalam kehidupan kita harus berkorban, bahkan demi orang yang kita cintai pun"
"Tapi tak seperti ini caranya"
"Aku takkan pernah menyesal Rey dengan keputusanku"
"Li, jika aku ini beban bagimu, engkau boleh tinggalkan aku. Kamu tak sepantasnya sampai seperti kepadaku," ucapku lirih.
"Apa kamu tak ingat Rey, tuhan ciptakan kita bukan untuk pasrah. Tuhan ciptakan kita untuk tegar. Kamu nanti pasti akan merasakan sebuah pengorbanan Rey, percaya padaku!," Lili memegang tangan Rey lalu mengecup keningnya.
"Kamu pasti sembuh Rey"
"Makasih Li," ujar Rey penuh percaya diri.
"Ya, dia memang sosok yang sangat ku kagumi Rey. Tak ada yang berani perempuan lain mengikuti jejaknya,"jawab Arif disertai anggukan dari Rey.
"Tanpa sum-sum tulangnya aku takkan hidup Rif,"ucapnya mengiba.
"Sekarang aku benar mengerti apa yang Lili maksud dari nasehatnya di Rumah Sakit dulu. Adakalanya kita merasakan pengorbanan. Iya, aku harus membesarkan Lala dan mendidiknya seperti sosok ibunya"
"Sungguh beruntung kau," Arif mengusap air matanya. Ia mendekati Lala yang mematung dengan puzzle "Anak manis, om boleh ikut main?," Arif mencoba mendekati Lala.
"Boleh om, tapi..... Om cium Lala dulu dong,"ujarnya memunjuk pipi kirinya.
"Rey, rupanya sifatnya yang satu ini bukan Lili banget,"
"Kalo mirip Lili semua ntar loe naksir anak gue lagi" suara candaan mereka menggema seisi ruangan. Kondisi seperti ini begitu Rey rindukan.
Air matanya mengalir. Aku memejamkan mata, rasanya jiwaku menjadi lega. Aku merasakan kehangatan menelusup dalam relung hatiku. Suara angin berhembus menggerakan daun daun dan pohon, terdengar bagai lantunan musik yang indah ditelingaku. Aku masih punya esok yang cerah.. Merajut hari hari indah tanpa beban.. Jiwaku seakan terbang tinggi.
"Terima Kasih Tuhan, Engkau sempatkan untuk memilikinya" berharap dunia ini kembali indah.