Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 28 Januari 2012

SYUKUR


Wajah teduh Johan tersingkap di peluk damai ibunya. Terlihat pula raut lelah pada wajah istriku. Sehari yang bermakna. Mengingatkanku untuk selalu bersyukur. Pencapaian yang begitu besar atas keluarga yang Tuhan berikan tujuh tahun ini. Aini sosok istri sempurna. Entahlah, melihat Johan dalam pelukannya, serasa jiwaku mengenang masa kecil dengan emakku dulu. Perempuan yang bersahaja.

“Ayah, belum tidur?” pekik Johan yang langsung menggelandoti tanganku.

“Mas Aji, kerjaannya di lanjut besok saja. Acara di Panti tadi kan sudah bikin mas kewalahan ”, aku menanggapinya diam.

“Mas, sholat dulu ya dek”, Aini menganggukan kepalanya tapi tak dengan Johan.

“Johan.. lepasin ayah, apa Johan mau ikut sholat isya’ ?”

Johan telah siap diatas sajadah kecilnya. Semakin kangen saja aku bila merasakan ini. Dulu, almarhum bapak juga sering mengajakku sholat bersama. Pernah ketika aku berulang tahun yang ke sepuluh bapak memberiku hadiah. Itu hadiahku pertama dari bapak. Aku sempat tak mengerti untuk apa bapak memberikan barang itu. Seingatku, aku cuman diam dan menaruh barang itu di atas lemari yang berada di depanku sekarang.
Johan masih duduk diatas sajadahnya. Sesekali ia menengokku. Kumelangkah dan berjinjit mencari sebuah kardus sepatu. Sudah dua puluh tahun lebih aku melupakan barang pertama pemberian bapak. Warnanya masih sama coklat, tetapi debu telah buatnya makin mencoklat. Aku buka dan mendekap barang yang ada di dalamnya. Kenapa aku bisa lupa, Ya Rabb?

Aku menghampiri Johan yang tengah bersiap sholat. Aku letakkan barang itu di atas meja belajar Johan. Selesai sholat, aku membuka barang itu. Kubaca perlahan, meresapi setiap kata kenangan. Johan mengikuti bacaan yang aku lantunkan. “Shodaqallahul adzim…..”.
Al-Qur’an itu merindukanku pada bapak. Ini hari ulang tahunku terindah, seakan bapak hadir bersama kerinduanku.

Jefri Setyawan (Jef  Kenzie)
Pasuruan, 29 Januari 2012

Selasa, 24 Januari 2012

Karena Kusanggup


KARENA KUSANGGUP...

Semua seperti mimpi. Semenjak kuberkenalan dengan sosok perempuan yang behasil membawaku pada dunia roman. Seperti lembayung senja dan aku terduduk di atas hamparan siluetnya. Lalu perlahan menghilang dan ketika itulah sosoknya jua buatku padam sebagai lilin tuhan.
****
Rabu, 12 Januari 2011...
Masih kuingat, senja sore itu adalah yang terpanjang dari senja biasanya. Senja yang terekam oleh dua sejoli pada awal jumpanya. Dua sejoli itu adalah aku dan dia. Tak perlulah aku menyebut namanya, sebut saja dia "Gadis Senja". Tak ada obrolan menarik untuk ukuran perkenalan pertama. Masih ada perasaan setengah-setengah sekedar mencari keingintahuan masing-masing. Memang terasa canggung bagiku yang memang pendiam. Aku sempat mengutip beberapa kalimat dari mulutnya. Yang justru itu membuat aku tersedak dan mencerna baik-baik kata per kata ucapannya.

Minggu ke-dua  Februari 2011...
Langit Februari meranggas tak ubahnya pohon jati. Kuning merekah sinarnya tajam menusuk pori kulit terkecil sekalipun. Kejadian sebulan lalu, membuat hubunganku dengan "Gadis Senja" semakin erat. Meskipun hubungan SLJJ perantaranya. Ada keinginan yang muncul untuk bertemu. Suatu waktu pernah keluar lagi kutipan itu darinya. Entah sadar atau tidak itu membuat aku kembali dilema. Cukup! Sudah kedua kalinya ia mengucapkannya.
Benar saja, sorenya kami sepakat untuk bertemu kembali. Hal yang tak terduga kembali terucap darinya di tengah lalu lalang jalan raya. Namun, ini beda, bukan kutipan yang terakhir kali lalu. Mendengar itu aku mencoba bersikap sewajarnya. Tak ingin aku kacau dalam keadaan berkendara. Aku beruntung memiliki ilmu sandiwara yang kupelajari di sekolah. Saat itu kulajukan kencang motorku, entah bagaimana hingga bermuara di sebuah pantai.
Sepanjang perjalanan menuju pantai itu, sesekali ia mengagumi panorama yang jarang ia lihat. Memang beberapa kawasan di Pasuruan begitu elok. Tak banyak aku menimpali kegembiraannya. Di pantai itu, ia begitu asyik bermainan dengan ombak. Dalam keadaan kacau, aku lebih memilih diam di atas motor. Aku mengingat kutipan yang masih terekam jelas saat senja dulu.
"Aku tak masalah bila kau tembak (baca: menyatakan cinta) aku saat ini". Hampir seminggu aku mengolah perkataannya. Kutipan pertama yang buatku mendilema.
Hingga tiba ketika aku sudah siap membangun cinta itu, ia kembali meyakinkanku kedua kalinya. "Kapan kau sempat nembak (baca: menyatakan cinta) aku?". Itu kutipan keduanya. Ya, aku mulai percaya akan cintanya. Bagiku, kata awal terlalu singkat untuk memulai entah bagi dia.
Memang setelah pernyataan keduanya itu, aku merasakan perbedaan yang mencolok dari sikapnya. Dari yang biasanya dia sms dulu, semenjak itu harus aku yang mendahului. Namun, perhatian dan kasihnya masih sama seperti biasanya. Lalu, aku beranjak dari kutipan kedua melanjutkan ke ucapannya tadi. Tidak!!! Aku tak ingin mengingat!! Kuamati dirinya yang tengah duduk di batu besar. Sesekali mata kita beradu, dan selalu akulah yang menyudahi. Tak bisa secara terus menerus menatap mata senjanya yang akan buatku canggung. Oh Lebay!! Kembali melewati hamparan alam yang menggoda mata. Tak terasa tangan kiriku menggenggam tangan kirinya. Jalanan menurun, tak kuhiraukan lagi satu tangan untuk menyetir. Hatiku was-was antara pikiran yang berkecamuk selama ini. Berharap ingin menuntaskannya segera. Senja indah menyinari tubuh kami. Kutafsir kala itu masih pukul 05.30 sore. Entah keyakinan apa yang buatku memberhentikan laju motorku. Tepatnya pada tikungan menurun yang begitu tajam. Kumasih berperang dengan pikiranku di atas motor. Sementara ia tengah asyik berfoto. Memang wanita, tak bisa lepas dari naluri narsisnya. Tak lama, ia menghampiriku. Ia mengajak pulang. Lalu, aku mengiyakannya. Namun, kembali kekuatan ajaib itu muncul. Aku balikkan tubuh menghadap kearah wajahnya. Kupengang tangan dan kusapukan mata dari ujung jalanan itu.
"Aku cinta kamu, aku mau cinta ini menyatu" perlu waktu satu menit untuk mengucapkannya. Aku malu, kualihkan wajahku menatap senja yang akan tenggelam. Aku juga sudah siap kata penolakan itu keluar darinya.
"Aku 'tlah menjalin hubungan dengan orang lain, meskipun jarak membentangkan kami, tetapi aku mencoba setia" kembali kutipan ketiga keluar dari mulutnya. Entah kekuatan apa hingga aku berani menyatakan cinta pada gadis yang jelas-jelas sudah menjalin cinta dengan lelaki lain. Tak kusadari ia telah beranjak menjauh dari hadapanku. Tak lama tubuhnya kembali sambil memberikanku setangkai kembang liar dari tepi jalan. Ia mengatakan, apabila ia memberikanku tiga tangkai bahwa ia menerima cintaku. Kami pulang, sepanjang perjalanan belum ada tanda-tanda kembang kedua ia berikan lagi. Harapanku perlahan hilang seiring tenggelamnya senja kami. Kurasakan dekapan tubuhnya menyenderkan kepalanya di bahuku. Aku semakin tak mengerti tingkahnya. Lambat, ia dongakkan lagi kepalanya. Di selipkan dua tangkai kembang itu sekaligus ditangan kiriku.
"Benarkah kau menerimaku?" tanyaku tak percaya. Namun hanya anggukan yang kudapat.
"Lalu, bagaimana seseorangmu di kota lain itu?" tanyaku agak canggung.
Dari kaca spion kulihat ia berfikir sejenak,"Denganmu aku milikmu, disana aku miliknya". Aku kaget mendengar ucapannya. Sosoknya kini buatku ragu. Ia menjalani dua hati, dua kasih yang buatnya kapan saja berubah. Rupanya masalah itu semakin melebar. Aku hanya tersenyum masam. Hatiku terdalam berkata untuk tetap mencintainya. Rasa memang aneh.

Minggu ke-tiga Februari 2011...
Ketika senja itu retak...
Seminggu sudah kisah cintaku berjalan. Sudah tiga hari pula aku tak mendengar kabarnya. Terakhir, ia berpamitan menjenguk pacar pertamanya di kota Blitar. Bagaimana dengan aku?
Entahlah, dibilang kecewa pastinya namun aku seakan bungkam. Apalagi semenjak aku menjadi kekasih gelapnya. Hanya pacarnyalah yang jadi trending topic setiap kami mengobrol. Seringkali pula ia mengatakan bahwa aku tak perlu mencemburuinya. Memang aku tak khawatir ia akan menemui pacarnya. Karena terbilang jarak kota Pasuruan dengan Blitar sangatlah jauh. Tetapi manusia hanya bisa berharap. Selama tiga hari itu, aku tak diizinkan berkomunikasi dengannya. Sekedar telepon bahkan sms pun. Kejamnya terduakan!

Awal Maret 2011...
Senjaku pudar...
Sudah dua minggu setelah hari jadian kami. Aku mencoba menelepon dia. Tepat saat ia tengah belajar untuk persiapan try out menjelang UN. Ya, dia SMA kelas tiga, sedangkan aku baru duduk di kelas satu SMA. Perbedaan usia tak dirasa penghalang hubungan kami. Pacarnya di Blitar ternyata kelas dua SMA. Lama tak berkomunikasi dia begitu wellcome atas sikapku. Tapi aku menyayangkan sikapnya yang seolah aku adalah tetangganya. Tak ada kesannya seperti sepasang kekasih. Tuhan, salahkan jiwa hamba mendapuk dirinya. Ia malah menyuruh aku untuk tak menseriusi hubungan itu. Ya, sepanjang obrolan yang tak menarik itu, terselipkan pujian untuk pacar pertamanya. Sesekali ia menceritakan jaket dan flashdisk serta beberapa barang lain pemberian pacarnya. Mendengar itu, aku sangat kecewa. Tak jarang ia juga memuji fisik "Orang Pertama" tersebut. Dan setiap kali membahas pacarnya, aku selalu menangis. Entahlah, tetapi aku tak mempunyai daya untuk berontak. Karena aku mencintai dia.
"Lalu yang kemarin apa artinya?" tanyaku mengingatkan pada hari aku menyatakan cinta itu.
"Lupakan, aku tak ingin buatmu sakit hati" begitu entengnya dia mengeluarkan kata najis tersebut.
"Aku ingin menghilang dari kalian, ku ingin tenang bersamanya". Aku tercekat mendengar penjelasan yang tak kuduga. Sesekali isakanku terdengar dari ujung teleponnya. Namun, sepertinya sosok gadis senja itu, tak memperdulikan keadaanku. Ia juga mengatakan, bukan hanya aku saja yang sakit hati. Tetapi masih ada seseorang yang lebih sakit hati. Dialah orang pertama yang memacari “Gadis senja” ku. Sehingga jelas sudah, aku bukanlah orang keduanya melainkan ketiga di hatinya. Ia lebih memilih orang kedua di kota Blitar itu.
"Sudahlah dek, aku belajar dulu" hanya itu kalimat terakhir darinya. Ia memanggilku adek, itu artinya tak ada hubungan istimewa lagi antara aku dan dia.
Semenjak peristiwa itu aku tak pernah lagi menghubunginya. Bahkan ia lebih dulu memblokir pertemananku di facebook. Tak ingin kalah start lagi aku mengganti nomor hapeku segera setelah aku mengirimkan sms perpisahan terlebih dulu. Ya, aku tak bisa marah. Toh ini aku yang bermain hati. Keseharianku di sekolah tak semenarik biasanya. Namun, perlahan aku berkat motivasi sahabatku lambat laun aku mampu berkonsentrasi menata masa depanku. Tak kusadari beberapa bulan aku masih menyimpan sesuatu dari “Gadis Senja” itu.
Di dalam toples itu, tiga tangkai bunga telah mengering. Seperti hatiku padanya kini. Kubuang semua tentangnya berharap tak ada lagi virus yang kemungkinan menginfeksiku suatu saat. 

Dalam senja lapang, setiap waktu...
 Sosokku begitu damai. Dalam balutan kehidupan baru. Bermain dan menantikan lagi senja baru. Menyaring dan memasukkannya lagi dalam toples kehidupannya. Senja yang terangi gelapnya sajak-sajak kejujuran.
 

Mak Sulis dan Batik


"Dengan mengingat, menimbang, memutuskan, menetapkan bahwa PT. XERO STYLE bebas dari segala tuntutan yang di ajukan oleh penuntut umum"

"Tok...tok...tok...", ketukan palu bercumbu dengan meja hijau menjadi titik akhir jalannya kehidupan. Menerima pernyataan itu, semua indera seakan kerasukan belati yang begitu tajam hingga menguliti kulit sampai tulangnya. Keadaan tersebut tak jauh beda dengan mak Sulis serta suaminya pak Tomo.
"Bapak... itu mereka yang salah kok bebas dari tuntutan sih?", suara centil Fara masih sempatnya bertanya, menyeruakkan telinga pak Tomo yang tengah menenangkan istrinya.
"Iin sungguh tak adil!!!, itu sangat keterlaluan! ibarat pepatah, pagar makan tanaman. Dasar orang tak tahu terima kasih" suara serak mak Sulis tehenti ketika ia kehilangan kesadarannya.
"Braakkkkkk...!!!," tubuhnya terjatuh dan kepalanya tak sengaja membentur ubin ruangan pengadilan itu. Kerabat mak Sulis bergegas memboyong tubuh sintalnya menuju mobil avanza yang siap terparkir di depan pintu pengadilan.
*****
Pagi yang cerah membelai kulit wanita paruh baya yang tengah senam pagi dengan ditemani anturium kesayangannya. Usia yang hampir kepala empat itu tak terlihat tua, bahkan mirip sekali dengan anak kuliahan. Tinggi yang sepadan dengan tinggi wanita Indonesia pada umumnya 165cm ini, tak jarang menghabiskan seharian waktunya di salon. Sekedar meni pedi, spa atau apalah ada saja alasannya untuk menghabiskan uang suaminya yang seorang walikota itu. Tentu, kegemarannya  untuk berbelanja tak dapat tertandingi oleh wanita manapun di kota ini. Alih-alih belanja di kotanya, tak jarang uangnya dihambur-hamburkan hingga Paris, London atau yang terdekat saja Singapura. Seringkali pula perempuan yang sering di sapa Mak Sulis ini dikecam masyarakat sekitar.
"Punya usaha baju sendiri kok nyelonong ke luar negeri" adalah ucapan yang acapkali ia terima. Namun bukan mak Sulis namanya bila tak tersenyum menanggapi celotehan dari para teman-teman arisannya..
Sore ini cuaca sudah mulai tak bersahabat. Pijaran mentari yang seringkali mengganggu mang Fara tak lagi menyeruput kulit putih lelaki ini. Oppssss... sejak dua tahun yang lalu ia mengubah namanya dari Fandi menjadi Fara. Gayanya yang begitu flamboyan sering menjadi ajang tontonan gratis bagi warga kampung. Ia awalnya adalah juru masak keluarga mak Sulis. Tetapi, karena pengetahuannya yang luas tentang dunia fashion ia diangkat, berat kaleee.... ia diangkat menjadi asisten pribadi mak Sulis.
Seringkali gayanya yang lemah gemulai membuat mak Sulis tertawa tujuh hari tujuh malam. Busyett... lama amat. Sore ini mak Sulis tengah bersiap pergi melihat keadaan pabrik tekstil miliknya. Perjalanan sore yang mendung seakan begitu cepat dari biasanya. Lalu lintas kota yang biasanya padat merayap kini teralihkan berkat mendung yang rupanya kian pekat.
"Bu, ini tanda tangan untuk distribusi barang dulu" ucap salah seorang pegawai marketing pria bertubuh atletis berkemeja putih begaris dengan santun. Terlihat name tag nya "Muhammad Fardhan", hingga dengan gaya centilnya Fara memaksa berkenalan sambil melambaikan tangannya, memanggil nama Fardhan layaknya tukang angkot. Melihat pertunjukan aneh itu, mak Sulis sudah terbiasa namun ia tetap tak bisa menahan gelak tawa. Hingga ia selalu meninggalkan asistennya berkeliling sendirian memantau keadaan pabrik. Puluhan ribu gelondong kain batik setiap minggunya didistribusikan menuju pasar lokal, pasar nasional hingga meloncat sampai benua biru. Selain itu gaun batik langsung jadi pun mampu digemari hingga Malaysia, Singapura dan pemasok terbesar datang dari Australia. Tak khayal bila mak Sulis ini memiliki dua gelar yang diberikan pemerintah kota setempat, pertama sebagai ibu wali kota dan yang kedua adalah sebagai duta batik kota tersebut.
Setelah puas melihat kondisi pabriknya, mak Sulis menyeret mang Fendi, eh.... Mang Fara si kembang kota menuju butik langganan mak Sulis. Apalagi yang diperbuat kalau bukan belanja, menghambur-hamburkan uang.
"Itu jeng sekarang yang ngetrend itu model belahan dadanya itu dinaikkan segini" ucap Fara sambil memperagakan satu persatu ucapannya.
"Aku kan bukan anak muda lagi far, yang sopan saja deh yang penting kelihatan kalau tubuhku langsing dan tampilannya glamour"
"Batik lagi jeng?"
"Iya dong sis, aku kan perempuan Indonesia" ujar mak Sulis sambil menggoyangkan kipas berlapis renda biru, padahal hawa dingin sudah cukup mendinginkan seluruh kota.
"Biar deh jeng, eke mah ogah dandan kayak jeng... Eke ntu sekelas dengan Britney Spears gitu lah" mang Fara tak mau kalah mempromosikan kesukaannya, hingga celotehannya terhenti setibanya di butik "Claud's" yang tengah disebut sebagai sentra batik terbaik dari beberapa butik batik di Indonesia. Dan konsumennya pun, adalah kelas pejabat semua. Padahal, berpakaian batik tak perlu semahal yang dilakukan mak Sulis. Tak perlu membutuhkan uang banyak untuk menikmati mahakarya Indonesia yang telah diakui UNESCO dua tahun lalu. Namun, alasan performance maksimal kerap kali butik dipilih orang sekelas mak Sulis. Lalu, yang lain bagaimana? Cukup membeli kain ecerannya saja, mereka menjahitnya di penjahit desa. Langkah itupun cukup simple bagi peminat batik dari kalangan low social economy. Berbeda jauh dengan yang dilakukan mak Sulis. Namun, it's all come from our heart. Begitulah filosofi penggemar batik  di Indonesia.
 "Ini produk dari Malaysia ibu, kainnya tidak bikin iritasi pada kulit dan ini adalah produk terbaik saat ini di butik kami," ujar perempuan pemilik butik yang turun langsung menangani istri  pejabat sekelas mak Sulis. Lama mak Sulis terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang ia simpan jauh-jauh dalam lubuk hatinya. Dipegangnya batik itu. Raut mukanya terhenyak ketika ia membalikkan banderol harga yang menggantung cantik di icon pakaian itu. Sepertinya mak Sulis bukan mengamati bandrolnya saja, tetapi ada yang lainnya. Entah apa yang dirasakan mak Sulis kemudian. "Dari Malaysia ibuk, kainnya sudah diolah dengan keahlian yang lebih bagus" ujar ibu pemilik butik ketika mak Sulis mengajukan pertanyaan.
"Mbak, saya bisa minta alamat distributornya tidak? Soalnya saya ingin memesan langsung kain yang serupa. Dan sekalian ini di bungkus juga mbak," ujar mak Sulis dengan nafas yang lega. Dadanya mengembang kempis, seakan beban berat tertahan di punggungnya.
Pagi yang mengaruk-garuk lintas alun-alun kota menyisahkan bau basah. Aroma air hujan sempat tercium tajam pada angin yang membawanya terbang. Bingkai panorama kota Surabaya terlihat seakan kota yang sudah mati. Tak terlihat banyak orang yang berlalu lalang sepanjang jalan utama. Semua begitu sepi, senyap dan lelap. Namun berbeda di suatu tempat. Banyak kerumunan warga yang berdesak-desakan berebut tempat nonton. Banyak sekali wartawan dari media cetak maupun elektronik terlihat tak sabar menanti hal yang besar. Dua minggu yang lalu, kehebohan besar terjadi ketika sepasang pasutri mendatangi pengadilan negeri kota Surabaya. Dan, hari ini juga semua issue itu akan diputuskan.
"Ibu Retno Widianingsih alias Mak Sulis menuntut PT. XERO STYLE atas dakwaan pelanggaran kode etik dalam dunia industri tekstil dan pelanggaran terhadap hak kepemilikan," melalui proses yang panjang akhirnya kalimat itu mulai terucap. Terlihat berbagai wartawan tengah jeprat-jepret foto tak ingin ada satu hal pun terlewat.
*****
"Kita harus lebih banyak belajar ma, ini adalah Pembelajaran yang begitu indah ma. Dengan ini semua kita bisa bebuat lebih baik ke depannya," ucapan pak Hutomo nyaris seperti pidatonya di hadapan pejabat yang lainnya.
"Tapi....," suara itu ia gantungkan, pak Hutomo pun menambahinya "Tak ada tapi-tapi. Papa ngerti mama mikir gengsi kan? Sudahlah ma, dengan hal ini mama sudah menjadi guru sekaligus pemeran dalam pelajaran berharga ini," mang Fara begitu terharu mendengar ucapan tuannya itu. Tak begitu lama bagi Fara menjatuhkan air matanya.
"Semoga pa!," senyumnya tersungging anggung penuh seakan kemenangan itu dipihak mereka.
PT. XERO STYLE berhasil menang atas hak paten kepemilikan batik yang diproduksi oleh pabrik tekstil yang dikelolah oleh mak Sulis. Kesalahan terbesar mak Sulis adalah kurang memperhatikan batik, karena batik juga perlu didaftarkan layaknya akta kelahiran.

Minggu, 22 Januari 2012

POCONG KOK REMPONG




Oleh: Jefri Setyawan





Tepuk tangan yang menggemuruh membuat sepasang sahabat itu membusungkan dada. Mereka adalah Mini dan Lena, nama lengkapnya Tumini dan Marlena. Kerlap kerlip aneka macam lampu lighting menghiasi area pemakaman, tak urung membuat wajah pendatang barunya berbinar ceria. Tapi sayang, penampilannya sepintas lingkup alamnya. Alam Barzah. Kebayang kan?



Keduanya baru meninggal seminggu yang lalu akibat OD saat dugem. Tak khayal kedatangannya telah mempunyai gelar beken Cong Mini dan Cong Lena. Rempong juga ya dunia demit. Mereka berdua pulang setelah nyanyi duet, yang diwajibkan bagi anak baru (baca: baru mati) sekedar perkenalan.



"Chin, kayaknya loe ama eike bakal jadi racccuuun gaib deh di negeri ini" ucap Cong Mini antusias yang tak luput dari gigi tonggos bagian atasnya. Cong Mini atau Tumini semasa hidup mempunyai lengkap nama Tomo. Pantesan gayanya itu loh, cucur-cucur gimana gituh.

"Iya, hihihi pasti kita bakal terkenal. Memang sih, body aku kan sexy empat sehat lima sempurna" jawab Cong Lena dengan gaya sok putri Keratonnya.

"Tapi gak ada bedanya kaleee, situ sama eike. Kita sekarang sama-sama pocooong, kayak lepet, Chin" jawab Cong Mini.

"Kapan-kapan kita permak aja baju kita, sekalian gue mau nata rambut aku pake jambul terowongan Cassablanca" Cong Lina kaget, hingga tak sengaja ia tersandung karena keserimpet gaun kebangsaannya.

"Aduhh... gila ya, mana ada salon dia alam gaib gini!!!. Eike aja yang fashionista udah dari zamannya Siti Nurbaya nggak pernah tuh denger salon di alam demit" Cong Lena hanya mengangguk. Sesekali ia juga keserimpet baju adat barunya.

Sepanjang jalan menuju pemakaman desa sebelah. Mereka sempat membahas makanan, yang katanya Cong Lina kangen sama tumis petai, juga Cong Mini yang kangen lontong semurnya Mak Kempit semasa hidup. Obrolan terhenti ketika dilihatnya dipersimpangan jalan ada sosok yang menyamai diri mereka.



"Eh, Kanua si Fitri kan? Eh Pitri.... kanua kan?" ucap Cong Mini spontan.



"Ih... Kanua si Tumini, Chin?" ucap si pocong yang namanya Fitri itu.



"Siapa dia?" tanya Cong Lena setengah berbisik.



"Ember, Kemindang jeng malam-malam sendirian, nggak takut di icik-icik?"



"Heh, siapa dia?" ulang Cong Lena agak keras.



"Oh, itu si Kanjeng Mami Fitri, teman akika nyalon dulu, Chin. Dia sama kayak kita, mati gara-gara dugem" si Cong Lena hanya manggut-manggut.



"Kesindaaaaaaangggg... kenalin temen kanua, Tum!!!!" Kanjeng Fitri rupanya membuat Cong Lena pusing tentang perkataannya. Tak ada yang dimengerti sedikitpun.



"Eh, kanua nyusul eike metong rupanya.."



"Ihhhhhhh... Jeng Pitri bisa aja, jadi maluku deh eike"



"Kalian dari menong, kok sangar sekali?"



"Biasa Cong Fitri, daftar anggota baru" si Cong Lena menjawab dengan ramah.



“Eitssss... jangan panggil cong juga, panggilnya Kanjeng Mami Fitri, singkatnya cukung Jeng Fitri saja” tukasnya panjang kali lebar.



“Siap Jeng!!!!” semangat Cong Lena.



"Situ sendiri?" sambung Cong Mini.



"Akika habis jali-jali, nyalon, tadi juga belenjong ini beli teflon sama makarena dinner-dinneran gitu, Chin" jawab Kanjeng Fitri dengan mulutnya mencar-mencor bak bola bekel.



"AW...AW..AW... Sama sepong?" Kanjeng Fitri senyum-senyum sendiri menanggapi Cong Mini.



"OMG Sis!!!! Akika pamit capcus dulu ya, tuh ada kamtib kesindang!!!" tunjuk Kanjeng Fitri ke arah lelaki paruh baya yang berjalan ke arah mereka.



"Emang ada satpol PP di sini?" tanya Cong Lena penasaran.



"Bukan itu, tapi kamtibnya tukang basmi demit-demit, dia namanya Kaji Bodong, akika takut, dadahhhhhhh!!!" sekejap pocong di pinggir jalan itu tersisa dua potong saja.



“Begimana Len, tuh dia makin dekat?” ujar Cong Mini.



“Ah udah, kita lari saja, capek gue dari tadi loncat-loncat” saran Cong Lena. Disaat itu juga mereka berdua berlari sambil nenteng sendal high heels masing-masing. Lupa ya? Kan tadi habis manggung, wajar pocong bawa tuh sendal. Hehehehehe....





*Maaf apabila bahasa terlalu mencar-mencor. Saya juga merasa geli sendiri, ngarang tema ini*
NB: Kalau sahabat tidak mengerti bahasa diatas, dapat dicari kamus dari kata-kata tersebut di mbah google... >,<

Dari Angkot Hingga Pada Pencapaian


Saya nggak panik. Saya juga heran mengapa saya enggak merasa takut. Padahal, saat itu saya sedang mengelilingi kota bali sendiri dengan angkot. Dan betul, saya NYASAR!!!!!.

Awalnya, tujuan saya adalah toko elektronik, karena baterai kamus elekronik saya habis. Ya, saya kira setelah hampir seminggu di Bali, akan lebih melancarkan conversation yang pas-pasan. Ujung-ujungnya e-kamus pilihan terakhir apabila bercakap dengan turis asing. Sekedar say hello! ato can i help you?. Sebatas itu saja. Padahal saya hanya mendapat libur sepuluh hari dari dua minggu liburan semester gasal.

Nah, toko sebenarnya akan buka jam 09.00. Saat itu masih pukul 07.40. Angkot yang saya tumpangi sebenarnya benar, yaitu kode B. Lah, kok bisa nyasar?

Yak, angkot-nya sudah benar, tapi saya malah pergi ke arah kebalikannya. Alhasil: saya menjauhi arah kota dan entah sekarang berada di mana. Setelah menyadari kebodohan itu, saya pun spontan tertawa. Beberapa orang melihat saya dan mungkin menganggap saya turis aneh tertawa-tawa sendiri. Gini-gini orang pasti menyangka saya orang Korea (ngarep banget!!!!). Bodo amat, dalam hati saya mengucap rasa syukur karena diberikan pengalaman ini. Entah mengapa, saya masih yakin hari itu nggak akan terlupakan.



Hari itu saya terselamatkan oleh seorang mahasiswa disitu yang juga salah satu penumpang di dalam angkot. Dia menjelaskan dengan logat inggrisnya. Mampus benar saya waktu itu. Saya hanya mengangguk menanggapi ucapannya, yang saya simpulkan bahwa saya harus kembali naik angkot yang sama dan berhenti di halte terakhir.

"Terima kasih ya Kak!" gadis itu terkejut mendengar responku, kami tertawa atas kesalah pahaman itu. Ternyata tak salah,wajahku mengalihkan dunianya. Thanks God!



Saya menyusuri jalan yang sama. Arah sebaliknya tentunya. Dengan nomorangkot yang sama, dan supir yang sama. Hal aneh lagi-lagi menghampiriku lagi. Tatapan sopir tadi melihatku dengan nanar dan curiga. "Ya Allah, masak makhluk ciptaanmu ini dicurigai maling!". Maling apa ya? Maling kutang? hehehehe..



Sekitar setengah jam tibalah saya di halte terakhir yang merupakan pusat dari halte di kota tersebut. Kusapukan mata, meneropong toko yang menjual bateraiku ini. Tak butuh waktu lama, saya sudah mendapatkan baterai kamus itu. Sekarang mengobrol dengan orang apapun jadi lebih percaya diri. Saat itu saya putuskan langsung pulang. Khawatir keluarga kakak saya mencari. Tiba-tiba terpikir kemungkinan kalau saya bakal nyasar lagi. Kalau nyasar sampai tempat tujuan sih masih oke, tapi kalau nyasar tak kembali? Duh, terlalu.

Alhasil, saya harus cari orang untuk bertanya. Tentunya orang lokal, kebayang kalau tanya sama bule, bukannya sampai rumah malah nyasar mungkin ke negeri Jiran (lebay!). Kebetulan ada seorang gadis yang dari penampakannya adalah seorang mahasiswi.



Setelah menyapa dan berbicara beberapa saat, saya mulai menyadari bahwa bahasa kami tidak nyambung. Sangat sulit saya memahami bahasa Indonesia yang di campur dengan bahasa daerah Bali. Akhirnya, kami berkomunikasi dengan bahasa awal para manusia: bahasa tubuh. Hasilnya, cukup maksimal, saya harus naik angkot B lagi. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada gadis itu. Saya kira mahasiswi kok bawa tas ransel besar, ternyata penjual minyak gosol. Pantas bahasa Indonesianya kurang lancar. Miris!



Bismillah, saya menaiki angkot itu. Mulai deg-degan, karena masih takut nyasar lagi. Sepanjang perjalanan saya hanya diam. Hingga tak merasakan orang di samping saya memanggil-manggil tak jelas. Dia bule. OMG!!! Pasti dia bakal mengajak saya ngobrol. Pasrah saja!



"Hei" jawabku menanggapinya.

"Are you foreign tourist?"

Ya, sebetulnya dia tak perlu menjawabnya, karena saya sudah tahu dia adalah BULE.

"I am domestic tourist, i stay in there for saveral day. Actually i life in East Java. Do you know East Java Mr....?"

What's your name?" tanyaku buru-buru

"George.."jawabnya.



Saya menceritakan ke dia tentang daerah Bali. Meskipun saya juga tak tahu banyak. Lalu, tentang Indonesia dari budayanya, makanan dan kebiasaannya. George begitu antusias ketika saya bercerita tentang kesenian kuda lumping. Meskipun keterbatasan vocab, rupanya George memakluminya. Dan untungnya, keterbatasan saya kala itu kembali terselamatkan. Kuambil handphone dan kuputar video kuda lumping dari mulai tarianya, mulai kesurupan hingga saat makan beling.



George sempat bertanya mengenai sejarah kuda lumping. Nah, disaat seperti ini kelayakan pemuda Indonesia diuji. Nyesel banget jaman SMP guru kesenian saya cueki dulu. Namun, saya menyarankan agar dia mencari sumber yang lebih banyak saja. Seperti buku dan internet. Perjalanan semakin mengasyikkan. Kuketahui George berkebangsaan Jepang. Aneh kan, biasanya orang Jepang namanya Yamamoto, Naruto, Suneo, Nobita, Honda, Yamaha dan apalah itu. George ternyata menikah dengan perempuan Jepang, kalau nggak salah di Toyama-Shi. Dan yang bikin saya terus menggoda Mr. George ini mereka adalah pengantin baru yang lagi honey moon. Oh, so sweet!

Waktu berjalan semakin cepat. Ah tidak, angkotnya yang lebih cepat. Kami harus berpisah. George berhenti di sebuah penginapan.



"Arigatoo Gozaimasu!"

"Iie do Ithasimashite!"jawabku yang artinya 'sama-sama'.

Kami pun harus berpisah.

"Good Luck!" ia menyemangatiku melalui luar jendela.



Tak lama aku sampa juga di rumah keluarga kakakku.

Pengalaman tersebutlah yang berhasil memotivasi saya untuk terus belajar bahasa asing, budaya dan tetek bengeknya. Syukur Alhamdulillah, tahun ini saya mewakili Jawa Timur dalam program exchange student YBA ke tahap seleksi nasional. Namun, saya harus bangga terhenti di seleksi ini. Karena dengan gagalnya saya, kesadaran akan kurangnya ilmu semakin bertambah.







Ingat, dimana kita berada jadilah manusia yang biasa dari kebiasaan anda.

3G (Gara-Gara Gula)


Hari itu tak seperti biasanya, fajar yang menyingsing begitu menjanjikan untuk dipinang. Kicauan cendet ayah seakan berfeaturing dengan aroma ubi goreng buatan ibuku. Sesekali keduanya mengembang kempiskan hidung serta telingaku. Berbeda pada hari sebelumnya, tak kutemui genangan air yang biasa menjadi tontonan pagiku. Mungkin hujan sudah bosan mengguyur ranahku. Seperti hari senin biasanya, sebagai anggota Osis aku harus datang lebih awal. Aku akan mendapati sanksi bila tak ikut mempersiapkan perlengkapan upacara. Pilihan menjadi Osis bukanlah sebatas unjuk nama saja, ketertarikan dengan dunia berorganisasi membawaku masuk ke dalamnya.

Pagi itu ibuku sibuk mengemasi bekal sarapanku.
"Ini yang di atas ubi goreng dan di bawahnya nasi rames. Habiskan jangan buang-buang makanan. Dan ini di botol air teh, belum ibu kasih gula. Gulanya ibu pisahkan di plastik ini biar tehnya tidak basi kalau diminum nanti", khotbah ibu panjang lebar.

"Serasa mau minggat saja!", gumamku. Kumasukkan semua barang itu ke dalam tas ranselku.
"Sudah berangkat, nanti di hukum lagi kamu!", kujabat tangan ibuku.salam sekaligus uang lima ribu beliau selipkan ke tanganku. Aku kerapkali tertawa bila sudah mencapai adegan ini.
"Kayak nyalamin pak camat saja", ucapku dalam hati.

*****

Sudah menjadi kebiasaan bila hari senin diadakan razia. Entah handphone, flash disk atau barang-barang lain yang dianggap tak lazim bagi pelajar menjadi incaran petugas tatib. Setelah aku selesai dengan tetek bengek urusan Osis, langsung aku sempatkan untuk menyantap sarapanku. Ibuku memang pintar memasak. Tak salah bila aku selalu kecanduan dengan masakannya, termasuk nasi rames ini. Namun, karena selera pedasnya tinggi, hampir semua masakan beliau masak dengan cabe diatas rata-rata.

“Ah.... minum.. minum....!!!!” tak sadar cabe bonsor aku makan. Aku segera mencari teh botolku. Bibirku seakan menyalakan panas lampu 20 watt. Aku baru menyadari teh itu tak terasa apa-apa. Hanya terasa tawar dan pahit residu teh saja. Aku ingat, ibu memisahkan gulanya dalam plastik. Dan plasti itu....

“Loh... kemana gula itu?” gumamku keheranan. Bibir yang semakin menyala bak lampu diskotik itu belum menemukan penawarnya.

“Rek... ada yang liat gula di tasku?” aku semakin samar-samar akibat bibirku yang sudah tak ada bedanya dengan ikan mas koki. Wajah teman-temanku seketika berubah polos, lugu dan ingin aku damprat mereka semua.

“Apa jangan-jangan..... !?!?” Aku segera berlari menuju ruang BK. Sesekali kututupi monyongku. Di BK petugas tatib menyambutku dengan tatapan aneh. Ah, seakan aku adalah makhluk ganjil dimata mereka. Sesekali ada yang tertawa melihat tingkahku.

“Pak.. iu uan anja, ao nar oba,” ucapku terbata-bata. Karena spontan, mereka langsung tertawa melihat cara berbicaraku. Aku melihatkan bibirku yang bengkak gara-gara memakan cabe bongsor tadi.

“Ini minum dulu,” salah satu tatib perempuan memberiku air kemasan. Tak butuh sepuluh detik untuk menghabiskannya.

“Pak.. tadi kan ada razia, lah gula saya di tas kok hilang. Pasti bapak dan ibu mengira kalau itu narkoba atau ganja. Saya mau menjelaskan itu hanya gula bubuk, tadi ibu saya yang berikan untuk rasa teh saya,” kembali terlihat senyum aneh tersungging dari mereka.

Lagi-lagi aku mirip badut konyol. Menjadi bahan tertawaan mereka lagi. Ternyata mereka memang curiga atas gula bubuk itu sebagai narkotika. Namun, mereka percaya setelah guru kimia mengujinya di laboratorium sekolah, Jadi perlu beberapa jam saya menunggu sekedar meminum teh itu, hanya karena gula. Ketika dari ruang BK itu, semua guru mencercaku dengan seribu candaan yang justru membuat seperti hantu yang tak tahu malu. Ahhhhh..........



Pasuruan, 11 Desember 2011

DILEM(A)




Oleh: Jefri Setyawan ( Jef Kenzie)



Hatiku kacau. Seolah-olah ada seribu silet mancacah jantungku hingga membentuk bubur beraroma amis darah. Memuakkan dan mengilusikan tarian seram.

“Sungguh, Mak! Aku ora iso,” jawabku ketika emak menyampaikan keinginan Tuan Jamal yang menyukaiku pada pandangan pertama.

“Emak juga berat, Nduk!” sahut ibu sambil menuangkan kangkung pada air yang mendidih. Ia tampak semakin ringkih di usia akhir kepala empat.

“Sudah cukup hatiku untuk Kang Supiyan seorang Mak!” terdengar ibuku mendesis mendapat jawabanku.

“Mbok yo jangan lama-lama jadi janda, Nduk! Malu dibicarain orang, mumpung kamu masih muda. Jangan seperti Emak ini, terlanjur lama menanti bapakmu, Nduk!” ucapan Emak tak kala sinisnya hingga membuat aku tak hentinya mengusap dada berkali-kali.

“Tapi beda Mak, bapak kan memang niat cari istri lagi, tapi Kang Supiyan meninggalkan kita itu kan dipanggil Gusti Allah toh, Mak!” untuk urusan ini aku tak mau mengalah dengan ibuku. Hal seperti ini tidak hanya yang pertama, seringkali persoalan sama aku tolak mentah-mentah. Bahkan sering pula berujung pada kemarahan emak atas status jandaku. Sudah tiga tahun aku menjalani lika-liku kehidupan tanpa seorang lelaki. Memang sangat aneh bagi kebanyakan wanita lainnya. Tapi bagiku, semua itu tak bisa dibandingkan dengan segala yang aku terima dari Kang Supiyan. Kesederhanaan cinta yang diberikannya sungguh membuatkan candu tersendiri. Pun aku ingat saat kami makan klepon lupis di salah satu tempat makan di daerah Jalan Panglima Sudirman Kota Pasuruan. Makan dengan lahapnya, dan terkadang ia memainkan makanannya. Menusuk bentuk klepon yang bulat memaksa lahar gula aren itu muncrat dari dalamnya. Tak jarang kebiasaan Kang Supiyan ditiru oleh Kiran anak kami. Dan kini, aku pun tak mampu lagi melakukan hal serupa. Bahkan membelikan jajanan saja aku harus menabung seminggu. Upah sebagai buruh pabrik benang hanya cukup untuk kebutuhan makan saja.

Miris dan menyakitkan.

Aku terdiam. Kami berdua seakan mulai menggencarkan perang dingin. Ingin beranjak dari dapur tapi sungkan kepada Emak. Ingin bernyanyi memecahkan keheningan, namun sudah tak pantas berbangga dalam penderitaan.

Tanp` menunggu perang berakhir, beliau bangkit dari duduknya. Berjalan menuju kamar mandi dan entah melakukan apa di sana. Saat itulah aku merasa benar-benar merasakan kemenangan yang acap kali aku dapatkan.

Ibu datang dengan ember yang terisi penuh air. Percikan air kadang membasahi kakinya saat membawanya menuju luar rumah. Ibu bukan hanya membawa ember saja ditangan kirinya membekap handuk dan peralatan mandi seadanya itu.

“Kiran sudah dimandikan, Nduk?” suara ibu terdengar dari luar rumah. Di usia tuanya masih ingat kebiasaan mandi anakku. Aku saja yang ibunya selalu lupa.

“Belum Mak, sebentar Kiran tak cari dulu, mungkin masih bermain di depan” mendengar ucapanku barusan, Emak masuk kembali ke dapur melanjutkan acara memasaknya. Entah perasaan apa hatiku sakit ketika melihat tingkah Emak barusan. Aku sebagai anak memang keterlaluan.

*****

Malam ini acara tahun baru islam di gelar di pelataran Alun-alun kecamatan. Dalam acara ini semua warga membawa sesaji yang berupa makanan yang nantinya akan dibagi secara merata. Aku dan Emak membawa nasi krawonan. Perlu perdebatan panjang untuk memutuskan membuat nasi yang terdiri dari sayur mayur yang dicampur dengan ikan asin dan parutan kelapa ini. Karena, ruwetnya pembuatan adalah alasan emak enggan membuatnya. Tapi tetaplah aku yang selalu memenangi perdebatan itu.

“Nduk,terimalah lamaran Tuan Jamal. Kurang apa lagi, Nduk? Sudah kaya, baik dan Emak yakin istrinya bakal nerima kamu” masih sempatnya Emak melontarkan bujuk rayunya saat do’a dibacakan.

“Ingat Nduk, kamu ada Kiran yang perlu dibesarkan. Itu semua ndak gampang. Kalau kamu jadi....”

“Sudahlah Mak!” aku memotong bicaranya.

*****

Hal yang aku nanti tiba, Emak dan Tuan Jamal tengah memandang lekat mataku. Aku semakin bingung dengan keputusan yang nantinya kuberikan pada Tuan Jamal. Aku tak ingin mensejajarkan Kang Supiyan dengan lelaki lain. Namun bayangan kemiskinan Emak dan buah hatiku terus menekanku dengan menerima lamaran itu adalah jalan terbaik kami.

“Mak...” aku mulai bicara.

“Ayu Nduk, jawab saja!” terlihat sepintas harapan matanya untukku katakan iya.

“Zahra menerima Tuan Jamal Mak...” mengatakan itu tenggorokanku seakan tercekat. Suara lirih yang aku katakan membuat semua kembali bertanya.

“Benarkah Nduk?” hanya anggukan kecil yang bisa aku berikan. Senyum Tuan Jamal tergambar kokoh. Begitu juga dengan ibuku. Transparan terlihat kristal bening yang meleleh lewati sela pipinya.

Waktu...

Izinkan ruh ku menengok balikmu.

Melihat apa yang aku dapat.

Bila hati ini merangkum dua hati.

Yang tak sempat terjangkau bilaku sendiri.......

Angin perdendangkan kayakinan.

Akan hati yang akan terpatri.



Pasuruan, 4 Desember 2011

Sesungguhnya Cinta



Oleh: Jefri Setyawan

Hampir setahun aku masih setia untuk diam. Bukan berarti aku malas, namun keadaan yang membuat aku begini. Tubuhku pun lunglai pasrah, Tak mampu bergerak ke kiri maupun ke kanan.
Aku terlentang merebahkan diri pada ranjang berlapis tikar pandan. Tak ada pekikan suara yang mampu menandakan bahwa aku masih hidup. Mulutku hanya mampu kembang kempis. Kelopak mata yang kian sayu hanya mampu membuka dan menutup.

Kriiiiieeeetttt….

Ku dengar suara pintu itu terbuka. Aku menghela hafas. Ku lihat bayangan ibuku memasuki rumah tua ini. Dinding yang terbuat dari bambu tak jarang membuat aku menggigil tiap malam.
“Emak pulang nduk, ayo makan dulu,” diambilnya bungkusan yang ada dalam kantong plastik putih yang dibawa. Dikeluarkannya bungkusan nasi mawut seperti biasanya.

“Gado-gado nduk, kesukaanmu,” tebakanku kali ini meleset. Ibu membuka mulutku perlahan. Hal inilah yang kembali mengingatkan kisah klasikku dengan ayah. Setiap minggu selalu langganan makan gado-gado di pinggir taman kota, tentunya dengan ibu menyuapiku dengan sabar.

Usiaku baru menginjak kelas 5 SD. Namun tak disangka kala itu adalah hari terakhirku dengan ayah. Kami kecelakaan saat perjalanan pulang. Ayah meninggal di tempat sedangkan aku menjadi lumpuh seperti saat ini. Kemanakah ibu saat itu? Ibu sejak menikah dengan ayah membuka salon sederhana di pinggir alun-alun. Semua saat itu terjadi dengan cepat.

“Kok nangis nduk? Terlalu pedas ya?,” seakan tak percaya ibu mengecap bumbu kacangnya. Aku hanya diam. Menyaksikan sosok perempuan bercadar ayah di depanku. Silau keharuman hatinya membuatku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tak tega melihat ibuku harus berjuang sendiri sekedar mencari sesuap nasi. Namun apa apa daya diriku. Perempuan lemah, tak seperti ibu yang begitu tangguh.

“Sudah habis, minum nduk,” terlihat guratan keriput menjalar pada tangan yang hampir tersisa tulangnya saja. Aku semakin pasrah melihat adegan yang jujur membuatku sakit hati.

“Ayo sekarang mandi nduk,” ucapannya kini mulai serak, sepintas kulihat setitik kristal meresap pada daster merah usangnya.

“Ibu, aku tak bermaksud menyiksamu. Maafkan aku Tuhan bila tak sepantasnya aku perlakukan ibuku begini,” gumamku dalam hati.

Bila raga ini adalah milikku.. Ku gadaikan demi bahagianya ibuku.. Bila cinta ini adalah milikku.. Kepada ibuku cinta ini berlabuh, meski tak pernah sempurna hingga akhir waktu



Pasuruan, 20 November 2011

Bintang yang Terus Bersinar


Kasih ibu,

kepada beta

tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi,

tak harap kembali,

Bagai sang surya, menyinari dunia.

Seuntai klimaks panjang tergambar pada rona wajah ibuku. Senyumnya selaksa setetes embun, mengalir perlahan mengetuk celah hatiku. Tak ada penampilan yang sempurna dari dirinya. Rambut yang kumal, ibuku bahkan tak suka dandan. Ejekan teman-temanku seringkali mengurungkan niatku untuk pergi sekolah. Mereka seringkali mempersoalkan fisik ibuku yang berjalan sempoyongan. Bahkan hinaan batin seringkali menancapkan belati pada hatiku. Aku selalu berkata, "Aku malu bu!" dan dengan setetes embunnya aku selalu lunak di hadapannya. Memang, sejak dulu ibu lah yang membuatku mengerti.

*****

Menginjak usia SMA, aku tumbuh menjadi gadis yang tegar. Seperti lakon ibuku. Sepeninggalan ayah sejak aku berusia 4 tahun, memang ibu adalah sosok yang berjuang keras membiayai kehidupan kami. Mulai dari memasak sarapan pagi, lalu berangkat bekerja dan sorenya masih sibuk mengotak-atik pekerjaan. Padahal setiap harinya aku selalu membantu pekerjaan rumah, namun ibu selalu bilang kalau aku belum pandai melakukannya. Ibu, sedari dulu memang begitu. Masih mengkhawatirkan anaknya, padahal aku sudah SMA. Bukan anak kecil yang perlu di jaga layaknya waktu SD dulu. Iya, ibu menjaga aku disekolah sejak TK hingga SD. Lagi-lagi sore ini ibu memulai kegiatan rutinnya. Ia ambil seember air dan lap pel. Dasar ibu, padahal baru saja aku mengepel.

"Nduk, ini kamu pel lantainya," ucapannya begitu parau ku dengar.

"Loh buk, sudah dari tadi," jawabku dengan suara yang lebih jelas.

"Udah nggak apa-apa di pel lagi, ibu ingin liat kamu ngepel,"

"Ya udah, sini buk," aku mengambil ember itu dari tangannya. Tercetak keriput hitam pertanda kerja kerasnya selama ini.

Sepanjang waktu mengepel ubin rumah, matanya tak lepas sedetikpun dari rambut sapu pel. Arah matanya mengikuti kemana sapu pel itu aku gerakkan. Kadang jika tak dapat dijangkau oleh mata tuanya, beliau melonggokkan kepalanya. Saat sapu pel itu masuk ke bawah lemari, kepalanya ikut menunduk seakan-akan sesuatu menarik terjadi pada sapu pel usangnya. Tak kusangka perkataannya membuat jeruji tersendiri bagi anaknya. Aku melongo mendengar ucapannya yang semakin parau. Sepintas kulihat senyum indah terlukis jelita pada kanvas yang mulai keriput usia. Aku tak habis pikir ucapannya tadi begitu seperti tak ada beban.

"Yo wes nduk, makan dulu. Itu ibuk beliin gado-gado," ujarnya mengagetkan lamunanku.

"Ibuk sudah makan toh?," anggukan dari kepala yang memperlihatkan uban dirambutnya memberi jalan hijau. Tak ku sia-siakan makanan yang memang menjadi jawara hati. Ibu melihatku kembali dengan senyum indahnya. Senyum sang jelita, entah begitu berbeda hari ini.

Pagi-pagi buta aku melangkahkan kaki menuju tempat biasa aku menumpang angkot. Jarak 1 km antara rumah dengan jalan raya menjadi saksi bisu perjuangan kami. Ibu, juga melewati jalanan ini jika menuju tempat kerjanya. untuk menuju ke tempat kerjanya ibu harus menumpangi angkot F yang berjalan menuju utara. Akan tetapi aku begitu kasihan bilamana ibu menghadiri undangan sekolah yang arahnya berlawanan dengan tempat kerjanya. Kulihat di saku bajuku ibu menyelipkan uang Rp7.000 rupiah.

"loh, banyak amat," gumamku. Memang tak biasanya ibu memberiku uang sekian. Ibu kadang memberiku tak lebih dari Rp4.000 saja. Aku tak habis pikir atas tingkah ibuku akhir-akhir ini. Begitu berkesan, seakan ucapannya akan terbukti.

"TIIIDAAAAKKKK.....!!!"

"Ada apa neng?," ternyata jeritanku telah mengagetkan sopir angkot yang berada disampingku. Kulihat dari kaca spion atas tak ada penumpang sama sekali dibelakang. Untung, mungkin aku disngka orang tak waras berteriak tanpa sebab. Tatapanku terus melihat lurus jalanan depan. Lama-lama pemandangan jalan semakin kabur. Entah mataku yang salah atau memang hari masih pagi. Pagi ini tak ada orang yang berlalu lalang. Biasanya ku temui gerobak sayur yang melintas dan riuh ibu-ibu penjual ikan menyeberangi Pasar Tradisonal tempat ayahku jualan dulu. Teringat tatkala ibu mengajakku mengunjungi lapak ayah setiap minggu. Namun, di jalan ini nyawanya terambil. Ayah korban dai tabrak lari. Ah, fikiranku pagi ini belum-belum sudah mellow. Padahal sudah ada ulangan Kimia yang siap menyambutku. Pasti tak ada yang mellow lagi. Semakin dekat kearah pasar itu, terlihat mobil besar terparkir sembarangan. Baru ku ketahui mobil itu adalah milik dinas pemadam kebakaran. Ternyata pasar ini tadi malam terlahap jago merah. Terbukti dari asap padam yang masih mengepul. Persis fenomena wedus gembel.

"Pantas saja jalanan tak terlihat, wong kacanya kena abu neng. Kirain mata bapak yang memang udah tua," pekik pak sopir yang biasa ku sapa pak haji. Memang bukan haji, tetapi setiap naik angkot beluau selalu menggunakn peci putihnya. aku yang mendengar lawakannya hanya tertawa tipis saja. Tak terasa pak haji sudah mengantarkanku hingga sekolah. semua penumpang Tadi menuju arah sekolah turun. Terlihat Susi, Amel kedua sahabatkudan juga Fendy cowok sekelas yang juga sahabat, saingan dan sudah beredar rumor kami pacaran. Aku dan Fendy menanggapinya dengan santai. Toh, selama kami SMA tujuan kami bukan pacar, tetapi orang tua. Betul, aku dan Fendy berangkat dari keluarga yang sama. Namun, Fendy lebih beruntung karena masih mempunyai bapak.

"Pagi Shinta....!!!," suara itu acapkali menyapaku.

"Pagi juga ndy?," jawabku dengan senyum lebar di hadapannya. Namun, anehnya ia langsung nyelonong mendahuluiku. Aku tak sempat memamerkan senyum indahku padanya.

Suasana kelas begitu aneh hari ini. Semua sahabatku seakan diam. Semua menganggapku tak ada hari ini. Apalagi dengan tak sengaja aku membuat Fendy marah. Hanya karena aku tak sengaja menginjak kakinya. Aku diam seharian. Bayangan ibuku terlintas sejenak.

"Ngunu pinter, ibuk tenang lek ninggal mati awakmu nduk" ucapannya sempat terekam dalam memoriku. Ingatan akan setiap lekuk kata-katanya membuatku hancur. Air mata telah lama menetes hingga jatuh membasahi tulisan yang terpajang luntur pada buku tulisku. Lama aku menangis sendiri. Aku menantikan ketiga sahabatku memelukku, memperhatikanku. Namun ku curi pandang mereka tengah tertawa lepas bersama teman sekelas yang lain.

"Apa salahku????," kalimat itulah yang berduet dengan ingatanku tentang ucapan ibu kemarin sore.

Suasana rumah sore ini begitu sepi. Namun kucium aroma sedap dari arah dapur. Tak ada apa-apa. Ku tengok ke kamar ibuku berharap ada sosok yang aku cari. Semua sudut rumah hanya terisi pertanyaan dimaa ibu. Sudah pukul lima sore ibuku tak kunjung pulang. Biasanya paling lambat, jam empat beliau sudah ada di rumah. Kali ini aku benar-benar khawatir. Semua pikiran berkecamuk menjadi satu. Pikiran hingga hal jelek terjadi pada ibu rupanya menguasai otakku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku takut kesendirian, hingga kembali air mataku keluar. Menetesi ubin rumah yang lupa aku pel.

"ibukkk.....,"suaraku lirih. Berkali-kali kuucap namanya namun tak kunjung tubuh itu datang. Hampir jam enam. Ada suara gemuruh di teras depan. Aku segera melihatnya. Namun sial, tak ada siapa-siapa.

"SURPRISE.......!!!! Selamat Ulang Tahun.....!!," suara itu datang dari pinti belakang rumah. Terlihat gerombolan teman-teman sekelasku membawa kue. Amel, Susi dan juga Fendy datang membawa bingkisan hadiah. Namun sosoknya lama aku nanti. Ditengah-tengah terlihat ibuku membawa kue tart yang diatasnya bertuliskan angka 17. Hari ini usiaku genap 17 tahun. Aku baru sadar mereka semua sudah merncanakan hal ini sejak awal. Ya, ibuku juga bersekongkol dengan mereka.

"Selamat ya Shinta...."

"Semoga sehat..."

"Banyak rezeqi, semakin pintar..". Berbagai ucapan dan do'a teman sekelasku ucapkan. Tak terkecuali ibuku. Beliau tak bisa berkata apa-apa lagi hingga kami berpelukkan lama.

*****

"Shinta, mau kemana?," ujar Fendy dengan suara merdunya.

"Ke ibu dulu, kamu ikut ndy?," ujarku.

"Ayo aku antar!"

melintasi jalan yang begitu terasa lama bagiku. Sudah beberapa bulan lamanya aku tak menengok ibuku. Kesibukkan kuliah rupanya sudah memulai kehidupan baruku.

Di tempat ini. Ibuku kembali.

"Assalamu'alaikum buk, Shinta datang menjenguk ibuk. Ibuk, kini Shinta sudah jadi perempuan yang tegar. Seperti apa yang ibu mau dulu. Dan ibuk, Shinta kini juga ada yang menjaga. Di samping Shinta sekarang ada Fendy buk. Ibuk dulu pernah bilang Fendy orang yang ibuk harapkan jadi mantu ibu kelak. Tetapi ibuk sudah pergi duluan. Maaf buk, jika semasa ibuk ada, Shinta tak bisa banyak membahagiakan ibuk. Shinta janji buat ibuk bangga, Kelak Shinta jauh lebih tegar dari ibuk, akan Shinta kalahkan ketegaran ibuk," rupanya aku masih kalah dengan ibuk. Begini saja aku sudah meneteskan air mata. Lama sudah kami berdo'a untuk ibu, hingga langkah kami keluar dari pelataran pemakaman itu. Terlihat dari kejauhan tanggal kematian ibuku. Sehari setelah acara surprise ulang tahun itu. Hadiah ulang tahunku, begitu sederhana namun kini begitu bermakna. Bukanlah kalung, liontin atau handphone tetapi do’a dan nasehat beliau, yang tanpa kusadari itu nasehatnya yang terakhir. Ibuk, pagi itu aku takut, engkau tak bernafas, dan saat itu aku sendiri. Dan benar jiwamu begitu ada dalam hembus nafasku. Semenjak itu, aku memutuskan untuk bersekolah dan bekerja sebagai penyiar radio. Alhamdulillah, berkat beasiswa dari sekolah aku bisa melanjutkan kuliah. Tentunya sebagai guru Kimia yang dirasa ibu sebagai pelajaran aneh. Ibuk, engkau aksara pengukir hati, selamanya tiada pengganti, sesuci dan sepertimu. Lagu itu terus mengingatkanku akan masa-masaku bersama makhluk Tuhan, seorang ibu.

Lafadz Cinta Kala Senja 2





Entah takut atau malu. Didit dan Lili kembali duduk di kursi guru, mereka berdua tak berani mengeluarkan

sepatah kata apapun. Akupun mulai berbicara. Hatiku sudah kembali dingin.

"Maaf kalau kakak buat kalian takut, kakak cuma ingin kalian niat sekolah. Kalau kalian nggak ada niatan buat sekolah, kasihan oarang tua kalian yang ada dirumah. Apa kalian tidak ingin menjadi orang yang sukses? Apa kalian tidak ingin menjadi orang hebat? Dan menjadi orang yang bisa membuat nasib bangsa ini lebih baik?," suaraku kini mulai mengiba.

"Siapa yang ingin jadi presiden?,"suaraku kini dibalasnya dengan angkat tangan mereka.

"Jadi dokter? Polisi? Guru?," semua pertanyaanku mereka jawab dengan angkat tangan. Lalu kembali ku melanjutkan ocehanku.

"Bagus si Beni ingin jadi polisi, Rita jadi guru, kalau Dina jadi dokter dan semuanya saya do'akan sukses. Tetapi, kalian harus rajin belajar, harus patuh sama guru. Kalau guru menjelaskan harus di perhatikan," ucapanku mirip sekali dengan guru TK ku dulu.

"Janji ya......?????," tambahku dengan mengangkat jari kelingking tanganku.

Bel pulangpun berbunyi. Giliran kelas satu sampai tiga yang memasuki kelas. Tiba-tiba saja aku tak enak badan. Aku meminta izin pulang pada kepala sekolah. Lili rupanya membarengiku sampai ke rumah. Entah kenapa Lili seakan menyihirku untuk mengaguminya. Di tengah perjalanan aku bertemu Salimah yang tengah berangkat sekolah.

"Kok baru berangkat dek?,"tanyaku.

Namun dia tidak membalas pertanyaanku. Aneh sekali.

Sesampainya dirumah Lili membuatkanku semangkok bubur dan jus alpukat. Ia sungguh memperhatikanku layaknya seorang istri.

"Ah....nggak mungkin, aku tak boleh mengingkari janjiku," kembali ku teringat akan pesan bapak ibuku di Jakarta kalau tidak menjalin hubungan sebelum lulus kuliah. Aku benar menghormati beliau.

"Mikirin apa Rey sampai bubur didepanmu tak kau gubris?"

"Nggg...anu, itu...nggg..gak deh,"jawabku bingung.

"Apa, ayo cerita?,"paksa Lili.

"Aaaa...aku suka kamu, aku sayang kamu," tenggorokanku begitu keluh rasanya.

"Aku juga Rey,"jawabnya singkat. Aku semakin bingung. Haruskah aku bahagia karena kami mempunyai rasa yang sama atau sedih karena aku teringat janjiku.

"Terima kasih Li, tapi aku memegang amanah ibu bapakku Li. Aku tak bisa menjalin hubungan selama aku kuliah"

"Tenang Rey, sampai kapanpun aku tetap menunggu waktu itu tiba," Lili memelukku bahagia. Namun aku menyadari seseorang melihat kami dari luar jendela. Lalu orang itu menghilang. Kami menyadari kehadirannya.

Sore harinya kami mempunyai janji untuk mengajari masyarakat desa untuk membatik. Kegiatan ini kami tujukan agar warga disini mempunyai keahlian yang bisa dijadikan modal untuk mencari peruntungan. Setelah sholat ashar aku, Lili, Didit, Arif pergi menuju desa wilayah barat. Sedangkan ke empat teman lainnya berada di wilayah rumah kost kami. Suasana tempat yang akan dijadikan latihan sangat ramai sekali. Banyak dijumpai gerobak-gerobak es yang berjejer di tepi jalan. Semua warga menyambut gembira kedatangan kami. Hampir 50 orang ikut berpartisipasi baik laki-laki maupun perempuan. Tahap pertama menggambar pola selesai. akhirnya tahap yanh ditunggu-tinggupun tiba. Seusai sholat maghrib kami mulai mewarnai kain putih polos itu.

"Melelahkan ya Rif?,"tanyaku.

"Iya, tapi tuh lihat si Lili tetap semangat walau hari semakin malam. Benar-benar cewek yang tangguh. Pantas jika kemarin IP nya 3,77"

"Kau menyukainya Rif?,"tanya Rey khawatir.

"Sepertinya begitu,"jawab Arif sambil ia melihat perubahan muka Rey. Rey berubah pucat pasi.

"Hahahaha...Nggak mungkinlah aku menyukai cewek yang sudah dipesan sahabat sendiri," Arif rupanya menggoda Rey. Mengetahui itu Rey menjitak kepala Arif.

"Sakit tau!!!,"rintih Arif.

"Biarin"

"Jujur Rey, gue suka ama Lili, tapi aku rela melepas rasa ini. Aku lebih memilih persahabatan ini tetap sampai nanti," ucapan Arif hanya dirinya yang tahu.

"Rif, loe sahabat gue yang paling baik. Loe kapan saja bisa jadi abang gue adakalanya juga gue jdi abang loe"

"Thanks Rey. Loe kalau mau curhat tentang Lili harus beliin gue pulsa dulu"

"Songong banget loe, baru dibaikin dikit udah ngelunjak," cibir Rey pada rekannya itu.

"Gue kan abang loe, mau nggak?,"tawar Arif menggoda Rey.

"Iya deh bang"

"Hahahahaha.....," Arif tertawa penuh kemenangan. Namun hati kecilnya begitu hancur ketika ia mengingat kejadian Rey berpelukan dengan Lili. Tapi, bagi dia persahabatan takkan tergantikan dengan apapun.

"Yuk pulang!!!!!," suara Lili mengagetkan mereka berdua.

"Bentar, nunggu Didit dulu," jawab Rey.

"Emang tuh anak kemana?"

"Tuh ngobrol sama ibu-ibu yang diujung sana,"tunjuk Rey kepada ibu-ibu berbaju merah.

"Haahh...itu mah bonsai Rey,"celetuk Arif.

"Gitu-gitu idaman Didit banget,"tambah Rey. Suasana tawa terus menyelimuti mereka.



Pagi hari yang cerah membiuskan warna mentari pada padi yang tengah menguning. Anugerah Tuhan begitu kental terasa hari ini. Para petani turun bekerja memanen padinya dengan semangat 45. Seharian ini kuhabiskan waktuku dalam gubuk tua. Mengamati mereka penuh tawa. Kerja kerasnya hanya untuk mengganjal perut. Aku rindu bapak ibuku. Hingga tetesan air mata tak lumrah sebagai pelengkap lamunanku. Tak terasa sang Mega terlukis pada kanvas langit. Titik-titik aku satukan menampilkan rona ceria. Entah ini harus ku paksakan. Aku tegar atas diriku. Lagu dari ungu "Yang Pertama" ku setel dengan suara yang keras. Suasana ini membuat mood aku begitu sempurna. Kawan, sahabat dan kekasih adalah ilusi nyata, mereka yang ada, ia yang mampu, ialah kenikmatan. Kenarsisanku kambuh, jepretan kamera HP kerap kali menghentikan lagu yang ku setel.

"Kenapa aku bukan senja? Tak mungkin aku alami ini, senja yang indah bahkan warnanya buatku lupa atas diriku. Aku ingin menjadi senja. Tapi mungkinkah?," aku sungguh rapuh atas diriku. Linangan air mata kembali terurai tatkala teringat kawan, sahabat, bapak ibuku juga dengan dia, Lili.

"Ah, ini lagi," ku rogoh celanaku untuk mencari suatu barang yang kubutuhkan. Tetapi nihil. Aku bergegas pulang dengan tubuh sedikit menunduk. Kepalaku pusing namun aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Kubuka kamar dan untungnya tak ada siapapun dalam rumah itu. kutemukan barang itu dalam tumpukan baju dalam tas ransel itu.

"Oh Tuhan, kuatkan hambaMu ini," ku kembali terisak tatkala melihat darah kental pada sapu tangan abu-abuku. Segera ku ke kamar mandi dan membersihkan wajah dan hidungku. Darah masih merembes pada hidungku. Kuseka dengan air hangat. Lalu ku cuci kain itu.

"Ngapain Rey, kemana aja loe? Tuh dari tadi Lili nyariin loe," ucap Arif mengagetkanku.

"Loe keluar lagi, aku ambilin obatnya ya?," tawar Arif, ku mengangguk pelan. Aku menderita kanker otak entah sudah stadium berapa. Sudah sebulan yang lalu baru ku mengetahuinya. Dan Arif, hanya ialah yang ku beritahu tentang hal ini. Keluargaku sangat tak kuharapkan tahu akan hal ini. Aku hanya ingin membahagiakan mereka.



Sudah menginjak waktu tiga bulan usia kami di desa ini. Pagi ini kami harus berkemas setelah tadi malam menggelas pisah kenang dengan warga. Bebagai proyek telah kami selesaikan selama tiga bulan terakhir. Dari mulai membatik, mengajari warga menari dan bermain alat musik di sekolah dasar telah kami jalankan dengan baik.

"Aku suka kakak," jawabnya singkat.

"Apa yang kamu sukai dari kakak?"

"Kebaikan kakak. Sejak malam itu aku mulai cinta sama kakak. Dari kakak meminjamkan laptop untukku juga mengajari sekaligus,"jawab gadis itu panjang lebar.

"Maaf dek, kakak sudah mencintai mbak Lili dan itupun perasaan yang tumbuh sudah lama," perjelas aku padanya.

"Kakak sudah menganggap kamu sebagai adik, kakak nggak ingin menjalin hubungan lebih, kakak juga belum pacaran sama mbak Lili, karena kakak ingin kuliah dulu. Adek juga harus sekolah yang rajin......," tambahku panjang lebar. Namun sebelu ku menyelesaikan ceramahku Salimah pergi meninggalkanku yang tengah terpaku di beranda rumah.

"Maaf dek, jika kamu terjebak dalam hubungan ini," gumamku lirih. Dari arah pintu Lili keluar membawa barang-barang kami.

"Hei pemalas, ayo bantuin dong," perintah Lili sambil memasang muka cemberut, ku anggukkan kepala segera.

BRUUUUUUGGGGH.......!!!

Suara itu terdengar seperti sesuatu yang jatuh. Firasatku tak enak, ini pasti ulah Rey lagi. Ku tengok keluar rumah. Disana nampak berserakan barang-barang kami. Dan sosok yang ku kenal tengah mencoba berdiri dari sekumpulan barang tadi.

"Rey!!!! Kau kenapa?,"ternyata dia Rey dan kulihat ia nampak menyembunyikan sesuatu dariku.

"Rey!!! Kau tak apa-apa?,"teriakku sekali lagi, tak ada jawaban darinya.

"Hidungmu Rey! Kenapa sampai....".

BRUUUGGGGHH!!! belum sempat ku melanjutkan pertanyaanku dia kembali terjatuh.





"Dimana aku?," ucapnya membangunkan tidurku.

"Rey, dah bangun loe, tadi loe dibawa ke Rumah Sakit sekalian kita langsung pulang, sakit loe kambuh lagi"

"Perasaan loe tadi ke rumah Pak Lurah Rif?"

"Lili udah tahu Rey, tentang penyakit loe. Sekarang dia pulang, sepertinya dia nggak tega liat loe," ujarku.

"Tapi urusan kita dengan Pak Lurah gimana?,"tanya Rey dengan mata terpejam.

"Didit dan teman-teman lain yang ngurus, loe tenang aja kayak nggak tahu Didit aja, ocehannya kayak penyiar radio saja"

"Emang dia penyiar radio kan?," celetuk Rey lalu disertai tawa kami yang menggema sampai keluar ruangan kelas melati ini.



"Aku siap dok, saya siap apapun resikonya"

"Baiklah, silakan mbk tanda tangan perjanjian ini,"ucap dokter itu sambil menyerahkan kertas itu.

"Mari mbak ikut kami," ajak dokter itu menuju ruangan bersama dua orang perawat.



"Saya terima nikah dan Kawinnya Lili Ambarwati Binti Joko Suyitno dengan mahar tersebut tunai"

"Bagaimana saksi? Sah?,"tanya penghulu itu meyakinkan.

"SAH....SAH....SAH,"teriak saksi-saksi pernikahanku.

Hari ini begitu istimewa bagi pasangan pengantin Rey dan Lili. Hangat senyum terlihat dari rona mereka berdua. Terlihat hadir rekan-rekannya dalam acara itu. Lurah desa Sukamaju yang menjadi tempat magangnya setahun lalu juga terlihat gembira. Kehadiran Didit memandu sorak-sorai tamu undangan memberi suasana tersendiri dalam setiap tutur katanya. Benar-benar sebuah perjuangan cinta yang indah.



5 tahun kemudian......

"Hai anak manis, siapa namanya?," ujar lelaki bertubuh tinggi itu.

"Lala om,"jawabnya pendek.

"Lala anaknya siapa?," tanya lelaki itu kembali.

"Papa ye om," ucapnya dengan gaya cabel.

"Om punya es krim buat Lala nih, rumahnya Lala dimana?", lelaki itu membawa Lala menuju arah yang ditunjuk jemari kecilnya.

"Lala, kemana saja kamu?," ucap Rey cemas.

"Ini pa, om ini kasih Lala Es kyim"

"Anak yang pintar Rey, mirip sekali dengan Lili," sahut lelaki itu. Tatapan mata Rey melihat tajam lelaki itu. Berharap jawaban pasti ia dapatkan.

"Rif, benarkah kau itu?"

"Maaf Rey, aku dulu tak bisa hadir di pernikahanmu. Kamu tahu kan aku tak mungkin menangis melihat wanita yang kucintai bersanding dengan sahabat sejati sepertimu," Arif menitikkan air matanya perlahan.

"Iya Rif tak masalah bagiku,"jawab Rey haru.

"Keman Lili Rey?," Arif mendongakkan kepalanya mnuju seisi dalam rumah.

"Lili meninggal Rif, sudah dua tahun yang lalu. Ketika usia pernikahan kami sudah dua, Lili hamil. Lili meninggal karena melahirkan Lala, Rif. Ia memilih bayi di rahimnya hidup daripada dirinya," penjelasan Rey membuatnya membuka kembali kebaikan Lili selama ini.

"Aku hidup untuk Tuhanku Rey, dalam kehidupan kita harus berkorban, bahkan demi orang yang kita cintai pun"

"Tapi tak seperti ini caranya"

"Aku takkan pernah menyesal Rey dengan keputusanku"

"Li, jika aku ini beban bagimu, engkau boleh tinggalkan aku. Kamu tak sepantasnya sampai seperti kepadaku," ucapku lirih.

"Apa kamu tak ingat Rey, tuhan ciptakan kita bukan untuk pasrah. Tuhan ciptakan kita untuk tegar. Kamu nanti pasti akan merasakan sebuah pengorbanan Rey, percaya padaku!," Lili memegang tangan Rey lalu mengecup keningnya.

"Kamu pasti sembuh Rey"

"Makasih Li," ujar Rey penuh percaya diri.

"Ya, dia memang sosok yang sangat ku kagumi Rey. Tak ada yang berani perempuan lain mengikuti jejaknya,"jawab Arif disertai anggukan dari Rey.

"Tanpa sum-sum tulangnya aku takkan hidup Rif,"ucapnya mengiba.

"Sekarang aku benar mengerti apa yang Lili maksud dari nasehatnya di Rumah Sakit dulu. Adakalanya kita merasakan pengorbanan. Iya, aku harus membesarkan Lala dan mendidiknya seperti sosok ibunya"

"Sungguh beruntung kau," Arif mengusap air matanya. Ia mendekati Lala yang mematung dengan puzzle "Anak manis, om boleh ikut main?," Arif mencoba mendekati Lala.

"Boleh om, tapi..... Om cium Lala dulu dong,"ujarnya memunjuk pipi kirinya.

"Rey, rupanya sifatnya yang satu ini bukan Lili banget,"

"Kalo mirip Lili semua ntar loe naksir anak gue lagi" suara candaan mereka menggema seisi ruangan. Kondisi seperti ini begitu Rey rindukan.

Air matanya mengalir. Aku memejamkan mata, rasanya jiwaku menjadi lega. Aku merasakan kehangatan menelusup dalam relung hatiku. Suara angin berhembus menggerakan daun daun dan pohon, terdengar bagai lantunan musik yang indah ditelingaku. Aku masih punya esok yang cerah.. Merajut hari hari indah tanpa beban.. Jiwaku seakan terbang tinggi.

"Terima Kasih Tuhan, Engkau sempatkan untuk memilikinya" berharap dunia ini kembali indah.

Lafadz Cinta Kala Senja 1


Mentari fajar kembali memperlihatkan sosok yang tegar walau rentah termakan usia. Sinarnya begitu tajam berhamburan layaknya kapas beterbangan tertiup angin. Sederet aurora menghilang sejalan sinarnya yang mulai sepenggalan. Udara segar menjadi idaman para insan yang berniat olah raga atau sekedar jalan kaki. Suara malam masih melekat pada dedaunan yang meneterkan embun paginya. Burung-burung yang masih bertengger pada ranting pohon yang rupanya enggan memulai aktifitasnya. Masih tak terlihat rentetat mobil besar sepanjang jalan in. Bahkan tak satupun yang melintasi. Aku lupa. Iya, aku lupa kalau aku tak lagi berada di kota Jakarta. Suara bising dan lalu lalang kendaraan yang kerap kali kudengar kini sudah tiada. Semua sunyi. Lagu seperti inilah yang selalu kurindukan jauh dalam hati. Bahkan begitu sangat mendalam.

"Rey, ayo cepat!!! Entar kita kesiangan nyampe sana," lamunanku buyar seketika Didit memukul pundakku. Didit adalah teman satu jurusan denganku. Tubuhnya tinggi dan berkacamata. Garis sunda dan Manado yang mengalir pada dirinya membuat siapa saja kaum hawa yang melihat akan terkesima. Dia agaknya sosok pria yang cerewet dan asal blak-blakkan bila berbicara. Namun, tetap asik bila keluar ilmu pelawaknya. Selain itu adapula Desi, Arif, Hendra, Mei, Riska dan juga Lili. Mereka semua adalah kelompok untuk KKN kami. Iya, ini adalah tugas dari universitas kami. Perjalanan menuju desa Sukamaju ini begitu menarik indraku. Sepanjang jalan mataku dimanjakan oleh ladang sawah yang membetang luas. Serta keadaan alamnya yang masih perawan.

"Menakjubk`n!!," ucapku dalam hati.

Langkah kaki yang telah berjalan akhirnya menempuh batas akhir. Rumah-rumah penduduk terpajang di kanan kiri jalan. Bukan, ini bukan seperti rumah. Hampir bangunan disini semuanya dari kayu. Dinding yang kokoh pun tak kujumpai. Ini hampir mirip kandang ternak di kotaku. Bahkan lebih bagus daripada ini. Namun anehnya ada manusia yang terlihat duduk santai di dalam bangunan itu. Bahkan mereka terlihat asik dengan dunia di dalamnya.

Aku hanya diam.

Sepanjang perjalanan ku habiskan dengan berpikir desa ini.

"Permisi pak, rumahnya pak Lurah dimana pak?," tanya Lili kepada salah seorang warga. Lili adalah ketua tim kami. Dia adalah gadis keturunan Pakistan dari abanya. Tapi dia memiliki tubuh yang pendek dibanding teman cewek kami lainnya. Namun kelebihannya dalam akademik tak diragukan lagi. Tak salah bila dia menjadi ketua. Juga menjadi pencuri hatiku. Gadis yang sangat menarik sepertinya, membuatku harus bersaing dengan orang seluruh kampus mendapatkan cintanya. Namun dia adalah tipe cewek yang sulit untuk didekati. Bahkan seperti temanku Arif yang terkenal alim pun.

"Oh, lurus saja dek nanti di kanan jalan ada gapura masuk saja rumahnya yang ada pagarnya," mendengar jawabannya, Lili mengucap terima kasih dan tersenyum pada lelaki paruh baya di depannya. Rupanya lelaki itu membalasnya dengan senyum seindah mungkin. Kecut. Aku menilai senyumnya begitu norak.

."Ah.. Masak aku cemburu sama bapak tadi,"gumamku sinis.

Akhirnya rumah pak lurah ketemu juga. Kami telah menyampaikan tujuan kami untuk melakuan magang kami selama 3 bulan di desa ini. Pak lurah segara mengantarkan kami pada tempat yang akan kami singgahi untuk kegiatan kami. Diarahkannya kami menuju bangunan yang menurutku lumayan layak dihuni. Entah bagaimana bagi teman yang lainnya. Dindingnya dari tembok dan atap rumahnya tertutup genting namun tak ada asbes di bawahnya. Namun, ini justru jauh lebih baik daripada bangunan yang pertama kulihat tadi. Ini berbeda jauh dari angan-anganku. Selaksa ku mengikuti acara reality show yang ditayangkan pada televisi swasta seusai maghrib itu.

"Bener-bener gila, melarat sekali hidup gue,"namun perkataanku ini ku ucapkan dalam hati mengingat aku menjaga perasaan teman yang lainnya. Sepertinya aku menjaga perasaanku hanya kepada Lili saja. Lebih tepatnya begitu.

"Pesetan"............................

Hawa dingin malam ini meraung-raung mencabik tubuhku. Kusibakkan selimut merah jambu berharap dapat memberi kehangatan lebih. Si empunya malam rupanya tetap bersikeras memelukku. Badanku menggeliat ke kiri dan kanan sehingga membuat kisruh teman satu ranjangku.

"Kenapa loe Rey?," pertanyaan Arif itu membuatku tak enak hati untuk menjawabnya. Mulutkupun serasa kaku untuk sekedar berucap sepatah kata.

"Dingin," jawabku singkat.

"Hemmm..."

"Sorry"

"Hemmm" ucapnya lagi.

"Hah, baru sehari disini seperti dikutub saja," gumamku yang segera beranjak keluar dari kamar ini. Kulangkahkan kaki ini dengan gontai.

"Tek..tek..tik..tak..tek..tek"

Suara itu menarik perhatian telinga Rey. Didekatinya suara yang berasal dari ruang tamu itu. Keadaan cahaya penerangan masih menyala.

"Jangan-jangan maling" belum selesai menerka, tiba-tiba dia dikagetkan oleh si empunya suara.

"Hei kak Rey, masih belum tidur?," ucap seorang gadis yang mematung didepan mesin tiknya.

"Dingin"

"Mau kubuatkah teh manis?,"tawar gadis itu.

"Boleh," jawabku singkat.

Segera gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Ku melihat apa yang dia lakukan dengan mesin tik yanh sudah tua itu.

"Oh....." gumam Rey sambil menganggukkan kepala. Tak lama kemudian gadis itu sudah meletakkan secangkir teh hangat didepan Rey.

"Thanks ya"

"Iya kak, aku lagi ngerjakan tugas sekolah" jawab gadis itu seraya ia terus memamerkan senyumnya yang menarik.

"iya sudah tau"

"Kenapa nggak pakai laptop saja,"tambahnya.

"Nggak kak, bapak nggak ngasih katanya nunggu kuliah saja boleh," jawab gadis itu yang diketahui namanya adalah Salimah anak Yang masih duduk dibangku kelas dua SMK.

"Pakai punya kakak saja, biar tugasnya cepat," tawar Rey.

"Nggak deh kak, kakak juga ada tugas kan?"

"Nggak papa, pakai aja dulu, bentar aku ambil," Rey segera beranjak menuju kamarnya kembali, disamping itu Salimah terus tersenyum akan kebaikan seorang Rey.



Suara riuh gemercik hujan pagi ini mengguyur ranah Sukamaju. Bahagia dan tawa tergariskan pada senyum muka anak desa. Aku teringat akan cerita suku Indian yang begitu bahagianya bila hujan datang. Sudah beberapa hari kami berada disini. Tetapi belum satupun program kerja yang kami lakukan. Tak satupun. Entah kenapa hujan begitu egoisnya datang tiap kami ingin bekerja. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kedatangan kami. Teringat kembali dengan suatu hikayat. Arwah leluhur tak mengizinkan orang asing untuk menhinjakkan kakinya di tanahnya. Kematian yang misterius kerap terjadi seiring irang asing yang menjajaki tanahnya. Bodoh amat.

"Mau kopi kak?" ujar Salimah mengagetkanku. Aku hanya menjawab tawarannya dengan anggukan saja. Fikiranku begitu memutar, melilit kuat lalu hancur.

Bruuuuaakkkkkk.....

Seluruh isi ruangan itu mendekati sumber suara itu. Nyaris telinga mendengar sebutan nama "Rey" yang selalu diulang-ulang.

"Makan dulu Rey, ini ada bubur buatmu," mataku secar perlahan menerwang gadis didepanku.

"Panas..!!!!," aku membuka mulutku lebar menghembuskan nafas dari dalam untuk mendinginkan bubur yang masih di mulutku.

"Ah...maaf Rey," seketika itu ia tiup mulutku layaknya ibu kepada anaknya. Spontan aku terpaku menyaksikan pemandangan yang indah. Gadis yang ku sayang itu.

Lili tak henti-hentinya meminta maaf sambil meniup bubur di mulutku. Ada rasa enak. Tapi aku tak ingin dianggap lelaki mesum.

"Sudah li, makasih," senyumku padanya meyakinkan kalau aku tidak apa-apa.

"Ini makan lagi," dia terlebih meniup bubur yang ada di sendok.

"Kakak, tidak apa-apakah?," tanya Salimah sambil meletakkan kopi di sebelah meja kasur. Aku menganggukkan kepala pertanda tak terjadi apa-apa kepadaku. Bubur terus Lili suapkan seakan rasanya begitu membuatku ingin terus memakannya. Aneh. Padahal aku anti sama bubur. Ku lihat Salimah sepertinya tidak suka keadaanku dengan Lili. Tak seperti biasanya yang selalu perhatian kepadaku. Ia memilih pergi.

"Perempuan betul-betul aneh," fikrku.

"Ayo, satu sendok lagi" kali ini aku memang tak kuat merasakan enaknya bubur itu. Rasa kecanduan tadi sekarang berubah menjadi rasa yang campur aduk. Ingin mual dan muntah rasanya. Aku tahan, aku gengsi. Aku harus jaga image didepannya.

"Hore... Habis, anak pinter," tawa Lili penuh kemenangan.

"Hueeeeeekkkk"

Houuuuugh"

"Lega......,"melihat aku muntah begitu Lili sangat panik sekali. Diambilnya air botol kemasan ditasnya.

"Minum Rey!!!!,"ucapnya histeris.

"Maaf Li, aku tiba-tiba mual," jelasku.

"Aku yang minta maf Rey, aku terlalu memaksa bubur itu masuk," rintihnya.

"Oh Tuhan, dia wanita yang begitu baik sekali," suara itu hanya aku dan Tuhan yang mendengar. Lili pun bergegas keluar. Hingga tak begitu lama ia kembali masuk ke kamar dengan seorang perempuan paruh baya. Aku tafsir ia adalah mantri desa ini. Ya tepat dugaanku.

"Ini obatnya diminum dua kapsul sekaligus tiga kali sehari dan jangan minum kopi terus beri saja bubur atau jus pisang" ujarnya bu mantri tesebut kepada Lili dan kawanku yang lain.

"Menyebalkan," aku terus saja mengeluh berharap sakit ini tak hinggap terlalu lama. Pasalnya aku tak ingin merepotkan yang lainnya.



Senja kaian berpangku pada peraduan yang memiliki tubuhnya. Suara camar, tiupan angin dan balutan hujan menggema hingga rongga dada. Kabut pelangi merona tak sadar merenggut perhatianku. Sudah tiga hari aku tergeletak di kasur ini. Sudah tiga hari pula dia menjadi motivasi untuk bisa sembuh. Lili Dewanti, nama yang begitu indah.

Hari ini aku mulai mengikuti kegiatan yang direncanakan oleh tim kami. Hampir dua minggu lamanya baru hari ini cuaca terik meneropong desa Sukamaju. Kali ini kami akan datang ke sekolah-sekolah setempat. Kami adalah mahasiswa jurusan Seni dan Budaya yang akan mengenalkan budaya bangsa Indonesia kepada siswa disini. Tak menutup kemungkinan kami ingin mengajarkan kepada warganya tentang kesenian nusantara. Begitu kagetnya kami melihat kondisi sekolahnya yang amburadul itu. Kelas hanya ada tiga ruang dan itu harus ada giliran masuk pagi dan siang. Miris sekali. Namun kami tetap semangat. Jantungku tambah berdebar ketika akan memasuki ruangan kelas empat ini. Hari ini kelas empat sampai enam mendapat giliran masuk pagi. Ini kali pertama aku akan mengajar.

"Tunggu Rey, sama aku ya? Nggak masalah kan Didit?," begitu kagetnya aku seorang Lili meminta untuk begabung dengan kami.

"Nggg...ggak papa kok,"ujarku gugup.

"Ah, silakan saja apa perlu aku yang mengalah?," tambah Didit seraya mencubit punggungku.

Aku mengerti apa maksudnya. Didit memang sahabat sedari dulu selain juga dengan Arif.

"Hah nggak, kita bertiga saja ayo!!!," aku tak bisa membayangkan jika mengajar berdua dengan Lili. Bisa-bisa pingsan aku didalam. Di sela-sela pelajaran hatiku begitu miris sekali. Aku masih tak mempercayai kami adalah generasi yang bakal menggantikan pemimpin negara kelak.

"Ayo, masak nggak ada yang tahu kain khas Indonesia?,"pertanyaan itu kembali diulang oleh Didit.

"Kain kafan kak!!!!," ujar salah seorang siswa lalu disertai dengan teriakan tawa seisi kelas kecuali aku. Ini sungguh tak lucu.

"Hentikan semua!!!! Ini bukan PERMAINAN, ini bukan tempat untuk melawak anak-anak. Kita ini adalah Bangsa yang besar, bangsa yang disegani oleh masyarakat dunia, dan kita? Kita adalah calon pemimpin negara ini, tergantung kita akan dibawa kemana nasib bangsa ini. Sekarang kakak tanya, siapa disini yang mau menjadi orang bodoh?," seluruh siswa melongo.

"Beni kakkkkk!!!!,"ujar anak itu kembali sambil menunjuk siswa yang berada di sudut kelas.

"Hahahahahaha," lagi-lagi suara itu. Suara jeritan hati para pemimpi.

"Sudah diam!!! Kalau kalian tidak mendengarkan kakak kalian akan kakak hukum mengelilingi desa ini," ancamku yang entah kenapa terbesit hal yang begitu aneh. Aku ingin mencoba apa mereka berani melawan kami lagi. Suara kelas sekejap hening. Angin semilir memasuki jendela kawat mendinginkan suasana kelas. Juga dengan aku. Lama aku menatap mata mereka satu-satu. Lalu mereka menunduk.





Apa yang terjadi selanjutnya ?

Menegangkan, dan akankah situai kelas yang tadinya ceria terubah sekejap hanya ''Ke-nasionalime-an'' ook Rey?

Benarkah akan terjadi ''kekeraan dalam dunia penddkan'' ?

Dan, bagaimanakah kelanjutan dari kiah cinta Rey dan Lili?

Cerpen part ke 2 akan mengungkap sesuatu yang begitu mengejutkan Apakah itu?

Simak di LAFADZ CINTA KALA SENJA Part 2.

Sabtu, 14 Januari 2012

Setetes salam, untaian persahabatan

Jef Kenzie.Penulis kelahiran Pasuruan, 27 Juli 1995. Pemilik nama asli Jefri Setyawan merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. Sejak kecil menulis adalah hobinya. Namun, memasuki bangku SMA ia baru menekuni hobinya. Tercatat sebagai siswa SMAN 1 Grati jurusan IPS. Kebiasaannya ialah mendengarkan lagu-lagu low end tanah air. Berbagai prestasi menulis ia juarai. Dan juga ada beberapa karyanya yang sudah tergabung dalam penerbit, meskipun berbasis penerbit indie. Cita-citanya kelak adalah menjadi seorang ahli geografi, psikologi dan penulis hebat. “Jadilah manusia yang luar biasa dari kebiasaan kita” merupakan mottonya.

 Email dan FB  : jefkenzie@yahoo.co.id
 Twitter            : jefrei_bj

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites