Penulis: Harper Lee, 1960
Penerbit: Qanita
Cetakan: Ketujuh, Agustus 2009
Tebal: 540 halaman
Novel pertama dan satu-satunya, karya
Nelle Harper Lee (1926-…) ini mengisahkan tentang bagaimana prasangka tidak
hanya merugikan namun sekaligus berbahaya. Tidak pernah ada kebenaran dalam
prasangka. Jikapun ada, kebenaran dalam prasangka sangatlah rapuh. Dalam cerita
ini Harper Lee menyimpulkan lewat salah satu narasinya:
“Kau tidak akan pernah bisa memahami
seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya… hingga kau
meyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.”
Novel ini berkisah tentang kehidupan
keluarga Atticus Finch, seorang pengacara lokal di Maycomb County. Atticus yang
duda memiliki putra-putri, Jem Finch (Jem) dan Jean Louise Finch (Scout).
Mereka bertiga ditambah pembantu, seorang Afro-Amerika bernama Calpurnia,
tinggal di pemukiman tua di pinggiran Alabama, Amerika Serikat.
Keluarga Atticus Finch adalah
kehidupan tipikal keluarga Amerika pada masa resesi Amerika di tahun 1930-an.
Masa yang dikenal sebagai Great Depression tersebut digambarkan menjadi keadaan
yang serba berkecukupan di Maycomb County, permukiman tempat tinggal Atticus
sekeluarga.
Atticus ayah bijak yang terlampau
menyayangi kedua anaknya, adalah seorang egaliter sejati. Sebagai pengacara,
dia tidak pernah membeda-bedakan kasus yang akan dibelanya. Sebagai ayah, dia
tidak pernah mendidik anak-anaknya dengan keberpihakan.
Jem adalah anak laki yang beranjak
remaja. Meskipun sering usil Jem selalu berusaha melindungi adiknya, Scout
Finch. Jem berusaha menjadi pria sesungguhnya dengan mencoba bersikap dewasa.
Bagi Scout, kenyataan bahwa Jem mulai terlihat seperti ayahnya, adalah hal yang
menyebalkan. Namun begitu, Jem tetap menjadi teman bermain sekaligus tempat
mengadu bagi Scout.
Scout Finch gadis cilik yang selalu
ingin tahu. Bocah cerdas dan kritis yang selalu bermaja-manja di hadapan
Atticus, ayahnya. Selalu terlihat tomboy di lingkungan bermainnya. Scout tidak
pernah ragu untuk bertanya ini itu kepada siapapun yang ditemuinya. Juga, dia
tidak ragu untuk melakukan kekerasan ketika tersudut. Atticus dan Calpurnia
sering memarahi Scout akibat ulahnya.
Jem dan Scout selalu mendapat
kesenangan baru pada musim panas, karena ada tokoh seperti Dill Harris, bocah
jenius sahabat Jem dan Scout. Suatu saat Dill mengusulkan untuk menyelidiki
seorang Arthur ‘Boo’ Radley, tetangga yang terlihat misterius di mata
kanak-kanak mereka. Dill merasa perlu untuk memancing Boo Radley keluar rumah.
Terlebih, Boo adalah pemuda yang jarang sekali terlihat bersosialisasi. Namun
dalam kemisteriusannya Boo Radley sesungguhnya sedang ‘bermain-main’ dengan
Jem, Scout, dan Dill.
Namun, sejak Atticus memutuskan untuk
menjadi pengacara bagi seorang kulit hitam dalam sebuah kasus, kehidupan
keluarga kecil ini berubah. Kenapa? Perlu diingat, 1930-an adalah masa dimana
Amerika diselimuti racial segregation, rasisme kulit putih terhadap kulit
hitam. Segala aspek kehidupan mulai dari pelayanan masyarakat hingga fasilitas
angkutan umum, dibedakan peruntukkannya berdasar warna kulit. Jangan tanya
tentang masalah hukum. Pada masa itu hukum yang paling pantas bagi orang kulit
hitam adalah hukum gantung, meski tanpa peradilan.
Atticus ditunjuk oleh pengadilan untuk
membela seorang Afro-Amerika, Tom Robinson yang dituduh memperkosa seorang
wanita kulit putih. Atticus yang kulit putih ‘cari penyakit’ dengan menyetujui
membela seorang negro.
Adalah Scout yang terkaget-kaget melihat
kenyataan bahwa ternyata kehidupan orang dewasa tidak melulu hitam-putih,
baik-buruk. Scout belajar banyak hal tentang kehidupan di luar dunianya. Untuk
kali pertama Scout menyadari ternyata ada kenyataan lain yang bernama kompromi.
Ada kenyataan lain yang berada di wilayah kelabu, grey area.
Tentang To Kill a Mockingbird
Novel ini bisa dikatakan memoar;
kenangan masa kecil Harper Lee yang dia ceritakan ulang. Walaupun penulisnya
menyangkal, tapi tidak bisa dinafikan bahwa Jean Louise Finch alias Scout Finch
tidak jauh dari gambaran masa kecil Harper Lee. Bukan kebetulan jika ayah
Harper Lee, Amasa Coleman Lee, memang seorang pengacara sungguhan yang menjadi
dasar bagi karakter Atticus Finch. Amasa Lee sebagai pengacara, juga pernah
membela orang Afro-Amerika dalam sebuah kasus pembunuhan.
Frances Cunningham Finch, mendiang
ibunda Harper Lee menjadi dasar penamaan tokoh-tokoh utama: Atticus, Jem, dan
Scout bernama belakang Finch. Belum lagi latar cerita yang bertempat di Maycomb
County, yang tidak lain adalah lingkungan masa kecil Harper Lee di Montgomery,
Alabama. Dan konon, Dill Harris adalah dua karakter yang menggambarkan satu
sosok: Truman Capote muda, (yang kelak menjadi) penulis yang juga merupakan
teman masa kecil Harper Lee.
Alur cerita terasa lambat di awal bab.
Bab-bab permulaan yang dimanfaatkan Harper Lee untuk memperkenalkan satu per
satu tokohnya, pasti sangat menjemukan kalau saja tidak dituliskan sebagai
narasi seorang bocah yang serba mengejutkan. Selalu saja ada hal yang
menggemaskan saat mendengar Scout Finch bercerita, membayangkan, bertanya, atau
bercakap tentang sesuatu.
Karakter Scout memang dibuat
sedemikian cerdas dan kritis. Namun redaksi yang digunakan untuk menuliskan
narasi Scout terdengar terlalu dewasa untuk seorang anak sekolah dasar. Jika
harus selalu ada kekurangan dalam sebuah karya literasi, mungkin inilah
satu-satunya kekurangan karya Harper Lee.
Kekuatan novel ini terletak di
penokohan dan narasi. Harper Lee menciptakan tokoh-tokoh yang terbilang banyak,
namun dengan fasih menceritakan karakter masing-masing tokoh lewat sudut
pandang seorang bocah, Scout Finch. Karakter-karakter yang tercipta sedemikian
nyatanya, karena merupakan gambaran dari lingkungan terdekat sang penulis.
Sang narator, Scout Finch dengan
leluasa bercerita tentang segala sesuatu—yang dia lihat, dengar, dan
rasakan—secara jujur: bercerita tanpa motif tertentu, tanpa kemunafikkan,
kepalsuan, atau kebohongan. Scout Finch, karakter utama novel ini menjadi pisau
tajam bagi Harper Lee untuk mengupas karakter-karakter lainnya.
Pemaparan deskriptif dalam sudut
pandang khas anak kecil membuat cerita yang sebenarnya bertemakan masalah
sosial yang cukup berat menjadi terlampau cantik. Harper Lee sukses mengangkat
tema rasisme dalam narasi yang unik dan menarik. Sering terdengar kocak dan
lebih sering mengharukan. Saya rasa, tokoh aku-lah yang ‘berjasa’ untuk itu.
That’s you Scout Finch!
Mockingbird sebagai frasa di judul
novel, menjadi simbol tentang innocence. Analogi bagi seorang yang tidak
merugikan, tidak mengganggu orang lain. Persis seperti mockingbird sejenis
murai yang hanya bersiul dan bernyanyi tanpa mengganggu ketentraman lingkungan.
Membunuh mockingbird (to Kill a Mockingbird) adalah membunuh kebenaran. Dalam
berbagai resensi, ada dua tokoh yang dianalogikan sebagai mockingbird, Tom
Robinson dan Boo Radley. Tentang mengapa dan bagaimana kaitan analogi tersebut,
pembaca sendirilah yang akan memahami.
Secara keseluruhan, saya kagum dengan
ketelitian Harper Lee untuk menjaga kontinuitas dan relevansi antara judul,
tema, dan gaya tutur cerita dalam novel ini. To Kill a Mockingbird, novel
tentang kasih sayang dan prasangka, begitulah yang tertulis di muka buku.
Cerita tigapuluhsatu bab dengan banyak kejutan, namun lebih banyak lagi
perenungan.
Khusus untuk novel To Kill a
Mockingbird edisi terjemahan terbitan Qanita (2009), saya mengangkat topi untuk
penerjemah, Femmy Syahrani. Terjemahannya nikmat dibaca, mengalir, dan diksi
yang mudah dipahami ketika itu menggambarkan ekspresi tokoh. Juga untuk
penyunting dan proofreader, Berliani Mantili Nugrahani dan Emi Kusmiati. Kalau
tidak salah ingat, saya hanya menemukan tujuh bentuk salah kata. Well done.
To Kill a Mockingbird memenangi
penghargaan Pulitzer pada 1961. Karya besar Harper Lee ini juga pernah diangkat
ke layar perak dengan judul yang sama, pada 1962 film ini memenangi piala
Oscar. Kecuali itu, novel ini mendapat ‘penghargaan’ non formal sebagai “every
adult should read before they die” melebihi Bible di Inggris. Sayang karya
klasik ini adalah satu-satunya buah pena penulisnya.
Fakta bahwa Harper Lee tidak menulis
cerita lain, sempat mengundang kabar burung: penulis novel ini tidak lain
adalah Truman Capote, atas nama Harper Lee. Namun Capote membantahnya pada 2006.
Ah, kejamnya prasangka!
Nah, pengen baca kan???? Penulis sudah
punyta loh novelnya. Setau saya, cetakan terbaru tersedia di Gramedia dan Toga
Mas. Yang paling bagus, buku ini masuk deretan buku terlaris loh. Artinya,
rekomendasi banget bagi kalian. Harganya gimana? Lumayan lah buat kantong pelajar.
Oleh: Jef Kenzie (Jefri Setyawan XI IS
4)
0 komentar:
Posting Komentar