Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

Selasa, 29 Mei 2012

KONTEMPLASI HITAM PUTIH


KONTEMPLASI HITAM PUTIH
Oleh : Jef Kenzie

Dimana….akan ku cari
 Aku menangis seorang diri
 Hatiku ingin slalu bertemu
 Untukmu aku bernyanyi
 Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi
 Walau air mata di pipiku….
 Ayah dengarkanlah, aku ingin berjumpa
 Walau hanya dalam mimpi…..
Bersahabat dengan lagu tak bisa dipungkiri lagi bagi kebanyakan orang. Persamaan nasib yang diceritakan, feel dan juga chemistry mampu membuat kesan tersendiri sebuah lagu. Iya, membuka kembali diorama saat bersama orang-orang yang kita sayang sekalipun.
Saat ini. Ku merindukan jiwa yang entah berapa kali membuat dadaku sesak. Mengembang kempiskan, menahan lalu mengakhirinya dengan air mata. Sepenggal lagu dari Broery Marantika tak ubahnya rasa kerinduanku pada Makhluk-Nya. Bapak.
Pagi ini. Fajar yang tengah mematung membius ruangan kamar berukuran 3x4 meter ini. Pekikan ayam berulang kali menyetrum indera pendengaranku. Syair yang menetes pada lantunan ayat suci Al-Qur'an terlewat sepintas. Semua berjalan tanpa kendali, lenyap tak berbekas.
Ku berlari secepat kilat menghindari serangan itu. Nafasku terengah-engah menahan geli mimik mukanya. Dia masih mengikutiku. Mengekor dan secepat kilat memegangi kakiku. Ku terpekik keras dan berlari kembali. Dia tetap memegangi kakiku. Langkahku terseret pelan membawa beban berat tubuh itu, dan aku terjatuh. Sosok bertubuh hijau mirip hulk di film hollywood menyetrum otakku. Ia menerkam dan menindihku. Ah, nafasku semakin berat. Sekuat tenaga aku mencoba melepas dari makhluk menjijikkan tersebut. "Persetan" berbagai sumpah serapah keluar lebat dari mulut jalang ku. Akhirnya ku bisa keluar dari dekapannya. Ku menatap jalan di depan mata selaksa berlari kembali. Ia mencoba meraih tubuhku kembali, namun gagal. Jalan yang berliku berulang kali kutemui. Tidak mungkin, sudah berapa kali ku memutari jalan tiada berbatas. Semua yang kulewati selalu berakhir pada tempat yang sama. Pohon-pohon yang melihat itu tertawa geli. Rerumputan acapkali mengumbar bisikan menghujat tingkahku. Ah, hidup semakin beringas. Sosok hulk itu tetap mengikuti dengan langkah seribunya. Kembali ku dipaksa untuk menghindar. Aku masih terus berlari. Dia tetap mengejarku, ku teringat pada sosok Suzanna, arwah pembunuh hingga ke akarnya. "Tetapi apa salahku?" berulang kali pertanyaan itu keluar. Di depan mata seketika akar pohon membelai kasar tubuhku. Aku terikat kuat. Sosok hulk itu kini tertawa sadis mirip chucky boneka pembunuh. Ia mendekat dan mengendus tubuhku. Ia sentil hidungku. Sakit!. Lalu dia mencekik leher putihku. Aku tak berdaya dibuatnya. Pasrah. Ia mengangkatku dan memesukkanku pada mulitnya. Happpp....
"Bapak...!!!," ucapanku terucap keras menggema pada sudut kamar.
Aku lega. Mimpi yang sangat seram seumur hidupku kandas. Ku merenungi apa yang barusan terjadi dalam pelarian malam tadi. Tak biasa rupanya. Wajah bapak teringat di ayang-ayang imajinasi. Menari seperti gasing. Entah kenapa bukan wajah emak yang terlintas. Benar,  sejak kecil aku tak mengenal siapa emakku. Sejak kecil ku hidup berdua dengan bapak. Kata bapak emak meninggal saat melahirkan adikku. Kehidupan keluarga kami yang pas-passan membuat bapak rela kerja hingga larut malam. Tujuannya satu. "dadi wong pangkat" itulah yang bapak impikan dari kehadiranku. Aku janji pak. Namun, aku tak bisa tinggal diam. Aku juga tak kalah berjuang demi bapak. Aku tak ingin melihat bapat kecewa kepadaku. Melalui beasiswa yang ku terima ini aku mencoba meringankan beban hidup bapakku. Sejak SMP aku hidup dari beasiswa yang selalu ku dapatkan. Kalau dikatakan pintar, aku justru tak memiliki itu. Aku diajarkan untuk berusaha dan kerja keras oleh bapak sejak kecil. Bapak memang sosok yang ku angan-angankan ketika berkeluarga nantinya. Kulihat jam di handphone menunjukkan waktu 06.00 pagi. Ku melihat juga satu pesan mendarat sejak jam 04.30 pagi tadi. Tertulis pada ikon amplop berwarna kuning dan putih nama bapakku.
"Assalamu'alaikum mas, ayo sholat dulu. Meskipun sesibuk apapun, jangan pernah tinggalkan sholat. Berdo'a sama Allah mas, minta petunjukknya.
Dari: Bapak"
Membaca sms itupun tak terasa air mataku jatuh. Aku semakin bersalah kepada Tuhanku yang telah memberikan kesempatan ini. Juga dengan bapakku, sosok yang ingin ku pelajari. Ingin aku balas sms nya, tapi hatiku tak enak sendiri. Hingga lama ku berpikir ada telepon masuk, kulihat dari bapak.
"Assalamu'alaikum pak!," jawabku menerima panggilannya.
"Wa'alaikum salam mas, gimana kabarnya di Surabaya?"
"Alhamdulillah pak, bapak sendiri gimana?"
"Sama mas, mas tadi sudah sholat?"
"Daaaaarrrrr," suara itu seketika menghujam jantungku. Entah jawaban apa yang harus ku berikan pada orang tua tercintaku ini.
"Hallo mas...," ucap napakku lagi.
"Eh... Iiiya pak, mas belum sholat. Soalnya tadi mas bangun kesiangan pak," ucapku tebata-bata. Ku menanti respon apa yang bakal aku terima.
"Lain kali jangan lupa sholat, perbanyak bersyukur mas," jawabnnya begitu membuatku kedua kalinya meneteskan air mata. Lama kami mengbrol via telepon untuk mengusir rasa kangen kami. Aku berasal dari kota Yogya, entah kenapa aku tertarik dan mendapat beasiswa di universitas terbaik di kota Surabaya ini. Di Yogya aku tinggal bertiga dengan adik dan juga bapakku. Adikku cewek bernama Lasmi, aku sendiri bernama Fadli. Adikku pun juga tak pernah tahu siapa emak kami. Usia kami terpaut setahun. Sekarang aku sedang menginjak pada semester ke delapan. Segala macam urusan skripsi, tesis dan tetek bengeknya sudah rampung ku jalani. Memang terlalu awal bagiku. Namun, aku tak ingin mengulur waktu beberapa bulan hanya untuk urusan skripsi. Cukup satu setengah bulan saja. Karena aku ingin menghabiskan masa kuliahku untuk bekerja paruh waktu disini. Nilai A plus sudah ku kantongi. Itu berarti kurang beberapa bulan lagi aku akan bertemu dengan bapak juga adikku.
Sinar cerah mentari mengilhami penduduk bumi. Baik miskin, kaya juga orang-orang tak bernama. Desisan angin pagi memasuk merasuki seisi kamar kostku. Hari ini hari yang kutunggu tiba. Pakaian hitam dengan topi toga merias tubuhku. Benar, acara wisuda sudah tinggal mengitung beberapa jam lagi. Di kampus suasana riuh peserta membuat sempurnanya acara hari ini. Banyak mahasiswa yang berdatangan dengan kedua orang tuanya. Bahkan dengan rombongan satu keluarga yang memarkir kendaraannya di depan. Melihat itu, aku harus menelan pil pahit. Bapakku tak mungkin menghadiri wisudaku. Ongkos alasan utama bagi orang miskin macam aku. Sudah asap dapur mengepul itu lebih dari cukup bagi kami.
"Iya pak," jawabku menerima panggilan telepon dari bapakku.
"Iya nggak apa-apa pak, pokoknya Fadli Insya' Allah akan menjadi yang terbaik, seperti janji Fadli dulu," jawabku tenang. Kembali air mata merapuh dan menyusuri pipiku.
"Do'akan sukses ya pak," ku akhiri telepon itu. Karena acara proses wisuda akan dimulai.
Lama ku menunggu waktu ikrar sumpah. Memang beribu-ribu orang peserta wisuda ini. Akhirnya, stelah lama menanti, tiba juga waktuku.
Beberapa jam kemudian akhirnya peringkat tiga besar kelulusan dari setiap jurusan diumumkan. Hatiku deg-degan. Ini akan menjadi pil pahit atau mungkin hadiah bagi aku untuk bapak di rumah. Lama sekali menanti jurusan ku disebutkan.
1 menit...
2 menit...
"Baiklah, untuk keputusan selanjutnya akan dibacakan lagi setelah penampilan paduan suara dari Gita Musika Nusantara," ucap pembawa acara itu yang membuatku semakin dag dig dug. jantungku dipermainkan saat itu. Kalau aku pingsan aku pasti kehilangan kesempatan ini. Kalau aku sadar, akankah aku tegar bila keinginanku tak tercapai. Dilema.
"Ya, selanjutnya dari fakultas Ilmu Sosial prodi S1 Ilmu Ekonomi," akhirnya kata-kata itulah yang sedari tadi kutunggu.
Peringkat ketiga sudah.
Peringkat kedua sudah.
"Dan peringkat pertama dengan nilai IPK 3.95 atas nama Nur Eka Fadliansyah putra dari Bapak Hendro Purnomo," sedetik jantungku berhenti mendengar ucapan itu. Derai air mata sahabatku terlihat bahagia. Mereka memelukku. Aku bahagia, tak sadar namaku pun di panggil untuk kedua kalinya menuju mimbar.
"Silakan wali mendampingi putra putrinya," ucapan itu membuatku sakau.
“Aku harus tegar,” ku coba untuk menguatkan diriku sendiri. Aku dengan sigap menuju mimbar meski tak ada wali untukku. Tiba-tiba sosok lelaki yang lama ku rindukan muncul dari barisan tempat duduk para orang tua. Itu bapakku. Air mataku jatuh membumi. Ku dekati beliau, dan ku tuntun menuju mimbar. Beliau memelukku erat. Kulihat wajahnya sembab entah beliau bahagia atau sedih. Tak habis pikir aku dengan apa bapak kesini. Tak mungkin beliau memiliki uang untuk ongkos sedangkan Lasmi membutuhkan uang untuk SPP nya tiap bulan. Apakah mungkin bapak meminjam kepada lintah darat?
Setelah acara prosesi wisuda itu selesai, ku mengajak bapak menuju tempat kostku. Sebelum keluar dari pelataran kampus, kami dikagetkan oleh seseorang yang memanggil namaku.
"Oh, Pak Budi, ada apa pak?," tanyaku dengan sopan. Pak Budi adalah dosen yang  selalu care sama aku. Setiap masalah yang aku hadapi ku ceritakan semua padanya. Keluarganya begitu hangat kepadaku. Apalagi Rehan anak semata wayangnya. Beliau sudah aku anggap sebagai pengganti bapak semenjak aku di Surabaya.
"Oh, ini mas… Pak Budi yang membantu bapak ke sini. Berkat Pak Budi bapak bisa ke sini," ucap bapak sambil menyalami Pak Budi.
"Aduh Pak, terima kasih banyak atas bantuannya," ku melihat rona bahagia dari mereka berdua.
"Iya dli, selamat ya... Jangan lupa kalau sudah sukses suka main kerumah, kasian Rehan tak ada temannya," jawabnya penuh bahagia.
Lama perbincangan yang kami lakukan, Pak Budi mengajak Bapak dan aku menuju depot depan kampus. Di sana kami menghabiskan begitu banyak obrolan mulai dari latar belakang keluarga kami, dan juga kehidupan aku yang bapak ulas layaknya talk show pada Pak Budi. Sementara aku dengan asik menyapa teman sekampus yang tak sengaja bertemu di depot itu. Sudah lama waktu berlalu, entah sejak kapan aku melamun. Terlihat guratan wajah bapak yang terbakar panas bukti tanggung jawab kepada kedua anaknya. Begitu banyak waktu berjalan, banyak pula air mata dan cerita-cerita kehidupan yang mungkin takkan kulupakan sampai nanti. Sampai nanti. Nanti.


BIODATA
Nama Pengirim    : Jefri Setyawan.
Nama Pena      : Jef Kenzie
TTL                       : Pasuruan, 27 Juli 1995.
Alamat               : Jln.Raya Sumurwaru No.19 RT/RW 11/05 Nguling-Pasuruan 67185
No. HP                  : 087754417749
Email dan FB        : cute_enemy27@yahoo.co.id


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites