Hembusan nafas ketakutan terdengar memburu di kamar yang sempit itu. Darah segar mengalir deras membasahi lantai dan menganak sungai. Gunting panjang tertancap tepat di atas perutnya. Sementara matanya membelalak lebar merasakan sakit saat ajal menjemputnya. Radit memperhatikan mayat tersebut dengan wajah ketakutan. Bibirnya bergetar dan wajahnya pucat sepucat mayat. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang kekar tinggi semampai.
“Aku tidak membunuhnya,“ katanya dengan suara yang bergetar. Suaranya hanya ia sendiri yang mendengarnya.
“Dia yang menginginkannya,“ sambungnya lagi. Ia beranjak dari tempat duduknya dan mendekati mayat yang telah terbujur kaku tak bergerak tersebut dengan tatapan yang tiba – tiba penuh amarah. Ia duduk jongkok di sebelahnya.
“ Aku tak habis pikir kau tega melaukan perbuatan itu padanya. Kau benar – benar biadab!!!,“ bentaknya dengan suara yang keras, lalu ia tertawa.
“Percuma aku berbicara begitu kepadamu. Toh, kau tidak akan mendengarkanku lagi karena kau sudah MATI!!“ bentaknya lagi seraya mencabut gunting panjang yang tertancap di perut mayat tersebut. Ia tidak berlama – lama membiarkan mayat tersebut tergeletak di lantai.
Di tengah malam yang disertai dengan suara lolongan anjing Radit membawa mayat tersebut dengan menggunakan sepeda motornya menuju ke sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang besar. Sesampainya di sana, ia menyeret mayat tersebut menuju semak – semak yang terdapat di pinggir sungai. Di sana ia membuka bungkusan selimutnya dan membaringkan mayat tersebut ke tanah.
“Selamat tinggal,” ucapnya pelan sambil menutup kedua mata mayat tersebut yang masih membelalak lebar. Lalu ia menyeret sebuah batu besar dan mengikatkannya di tubuh mayat tersebut. Dengan sekuat tenaga ia menyeret mayat yang telah terasa lebih berat dari sebelumnya itu menuju ke pinggir sungai dan menenggelamkannya di sana.
“Radit...tunggu gue, ngapain loe cuma ucapan begitu aja loe tersinggung amat!,” jelas Dimas sambil mengejar Radit yang berlari menghindarinya. Seorang Radit telah membuat hati sahabatnya luka dan tersinggung karena ucapannya.
“Loe tega banget nyeritain ini semua pada Safira!!! Aku tak tega ke dia karena mengetahui gue seorang yang hina. Gue bener-bener cinta ama dia, sekalipun dia membenci gue tak ada sedikitpun gue berbalik benci pada dia. Itu semua gara-gara loe yang telah ngejerumusin gue ke jalan yang telah membuat gue tergantung dengan hal ini,” balas Radit tak kalah seriusnya menyinggung Dimas.
“Hei sob, kalau loe nggak begini seperti gue loe gak kan pernah ngerasain bangku kuliah asal loe tahu aja ya duwit dari loe jual diri itu juga kan buat emak elu di kampung yang lagi sekarat itu, belum lagi adik-adikmu itu yang sekolah saja masih menunggak” sindiran Dimas kali ini sangat membuat Radit naik darah, tak terkendali lagi tangan kanan seorang karateka itu menyentuh keras dagu Dimas yang kala itu terlihat bekas cukuran di dagunya yang hijau kontras dengan wajahnya yang putih bersih.
“Loe marah ke gue nggak ada gunanya dit!!! Masalah loe itu sekarang ada di diri loe sendiri. Loe liat kan Safira saja udah muak ngeliat loe dan tenang aja gue akan bantu loe kok cari cewek yang lebih tajir dan lebih seksi dari pada dia yang sok alim itu,” ucapnya penuh percaya diri yang mendalam.
“Bangsattttt loe dim!!!! teman macam apa loe!!!,” umpat Radit.
Setelah perbincangan kala itu Radit sesegera mungkin mengejar Safira yang sedari tadi marah kepada dirinya. Dipacunya motor matic buatan Jepang itu dengan nafas yang masih tersengal dan air mata yang menetes membasahi wajahnya yang maskulin itu. Radit masih tidak siap menerima semua kenyataan atas kekecewaan Safira . Ia masih tak mempercayai seorang Dimas mampu setega itu melakukan semua hal yang tak ia duga dilakukan kepada Safira dan dirinya.
Sesampainya dirumah Safira, Radit langsung menggedor pintu halaman rumah Safira. Namun tak ditemui seseorang yang ia cari. Hanya seorang satpam saja yang memberi keterangan bahwa Safira belum kunjung pulang. Memang benar tidak ada mobil Honda Jazz milik ceweknya yang terparkir didepan halam rumah itu. Hati Radit seketika itu menjadi kalut. Rasa menyesal dan takut terus membanyanginya. Ia pun memutuskan untuk mencari udara segar menuju pantai Halmahera yang ia dan Safira kunjungi di kala waktu senggang keduanya. Pantai yang menyuguhkan panorama indah, angin yang semilir dan karang-karang yang nampak megah berdiri serta anak-anak kecil yang bermain pasir membuat istana kastil menurut imajinasinya masing-masing. Radit yang tengah duduk di atas batu granit besar yang di sampingnya di tumbuhi pohon damar yang besar pula merenungi setiap waktu jalan hidup yang ia jalani. Kembalilah ia teringat dengan sosok Safira yang setia menemaninya tiga tahun saat awal pertemuannya semasa ospek. Membayangkan Safira yang mempunyai hati baik, senyuman yang menenangkan dan gadis berjilbab yang selau membuat Radit tenang di sisinya membuatnya menahan tangis sehingga telah membuatnya cegukan. Namun terlihat sosok emak dan adik-adiknya yang membuat Radit terus bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga sejak kematian bapaknya sejak dia kelas tiga SMA. Suasana pantai Halmahera kala itu memang berawan tidak seperti biasanya. Radit pun memutuskan untuk pulang ke kost-kostannya berharap hujan tak mengguyurnya. Hati Radit mulai tenang dan dia sudah mapu menerima keadaan siapa dirinya, ia akan mencari pekerjaan lain menggantikan pekerjaannya menjadi gigolo yang membuat hidupnya berantakan.
Sesampainya ia di kostannya suara adzan maghrib telah berkumandang menyajikan nuansa batin yang tenang. Kamar kost Radit yang bersebelahan dengan kamar kost Dimas membuat Radit mempunyai pikiran untuk pindah dari tempat itu. Namun ia juga berpikir baru tiga bulan ia menyinggahi tempat kost ini padahal ia sudah membayar untuk satu tahu ke depan. Ia sempat melewati depan kamar kost sahabatnya itu.
“aaaa..ah..aa..ah..a..a..a..a..a..,” suara remang terdengar oleh telinga Radit ketika ia melewati depan kost kamar Dimas. Ia sepertinya mengerti siapa pemilik suara itu. Mata Radit seketika itu langsung membelalak dan dengan cekatan ia menggedor pintu itu. Karena tak ada jawaban ia langsung mendobrak pintu kamar Dimas dan didalamnya terlihat sosok yang sedari tadi ia cari. Sosok gadis itu berbeda dengan keadaannya sehari-hari. Hampir seluruh tubuhnya tak berpakaian hanya selimut usang yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya. Derai air mata keluar dengan deras melalui matanya yang cantik menjalar melewati pipinya yang sangat sempurna.
“Safira!!!! ada apa dengan semua ini, kenapa kamu berada disini??? Apa kamu telah……,” beribu pertanyaan telah ia hujamkan pada Safira hingga ia menggantungkan pertanyaannya yang terakhir
“Radiiiiitttt, aa..ak….akkku..akuuu,” ujar Safira terbata-bata.
“Akku… aaku…aku di perkosa dit,” sambungnya,
“Siapa yang melakukan semua ini???? Apakah Dimas fir?? Tolong bilang ke aku!
“i…ii…iiiyaaaa dit, aaaaaaaaaaaaaaa ,“ mendengar Safira yang mengakui ia telah diperkosa oleh Dimas, kembali darah muda Radit memuncak. Safira yang menangis di pelukannya ia lepaskan perlahan–lahan.
"bangsattttt!!!memang sebenarnya apa maunya dia, benar-benar biadab sekali dia!!!," rintih Radit.
"kenapa kamu bisa sampai di sini, kemana mobil kamu? Apa kamu diculik?,"
"tidak dit, setelah kejadian aku dengan kamu tadi siang di kampus aku tidak segera pulang, karena aku yakin kamu akan menghampiriku. Sewaktu aku akan pergi kamu bertemu Dimas dan aku menuju kantin. Aku tidak bisa pulang dalam keadaan emosi dit. Kemudian Dimas menghampiriku ke kantin dan dia mengajakku ke kostannya. Awalnya aku sempat menolak karena aku tak ingin bertemu kamu. Namun dia terus memaksa dan mengatakan agar aku ikut mobilnya dengan alasan agar kamu tidak curiga. Aku bingung saat itu dit, aku tak mempunyai teman untuk mencurahkan perasaanku. Berhubung dia mengajak aku iyakan saja tanpa menaruh rasa curiga dan akhirnya hal itu terjadi", penjelasan Safira yang panjang lebar semakin membuat hati Radit luluh lantah atas Dimas sahabatnya.
"maaf fir, aku tidak bisa menjelaskan sekarang. Masih ada hal yang lebih penting dari itu. Lebih baik kamu pakai dulu baju kamu, setelah ini aku antar kamu pulang," ujar Radit yang sepertinya memendam guratan amarah di wajahnya.
"aku tak ingin pulang dit, aku takut" jawab Safira.
"sudah, kamu bersikap biasa saja jangan tunjukkan kalau kamu bersedih," ucapa Radit penuh kesabaran.
Setelah selesai mengantarkan Safira, Radit menstarter motornya dengan kecepatan 110km/jam. Umpatan dan sumpang serapah warga pengguna jalan tak ia hiraukan. Untung saja jalan raya saat itu sepi. Radit mencoba mencari sosok sahabat yang telah menghancurkan kehidupan Safira. Dimas yang ia cari kala itu tidak ia temukan. Teman-temannya pun tak mengetahui keman` perginya Dimas. Tempat yang biasa ia jadikan tongkrongan tak memberi jawaban keberadaan Dimas. Kost-kostan yang Dimas tempati sudah seminggu sepi dari kedatangannya. Sudah satu minggu pula Radit mencari namun tetap saja hasilnya nihil.
Malam itu sekitar pukul 20.00 WIB tepat dua minggu setelah kejadian naas itu terjadi. Radit baru saja pulang dari mengantarkan Safira untuk check up dirinya. Radit mengkhawatirkan Safira hamil akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh sahabatnya sendiri. Sampai saat ini mereka berdua belum menceritakan tentang kejadian itu kepada siapapun. Mereka berkomitmen untuk merawat janin yang dikandung Safira apabila dari hasil laboratorium ia dinyatakan hamil. Nafas kelegaan menghembus kuat dari mulut dan hidung mereka berdua kerena hasil laboratorium yang menyatakan Safira tidak mengalami kehamilan. Radit yang merasakan capek, langsung saja menghempaskan tubuhnya pada kasur tidur kostannya. Lagu dari MP3 yang ia dengarkan lewat headset membuat ia terlelap dalam keletihannya. Sekitar jam 11.00 WIB ia terbangun teringat akan kewajiban sholat yang lupa dikerjakannya. Ia melewati koridor-koridor tempat kost untuk mencapai kamar mandi yang terletak di ujung tempat ini. Melewati depan kamar kost Dimas, ia mendengar suara seseorang di dalamnya. Ia berpikir itu mungkin penghuni baru tempat kost. Namun, setelah ia dengar lebih jelas suara yang sepertinya berbicara dengan orang lain di telepon itu adalah Dimas buronan Radit yang dua minggu terakhir ia cari. Ia mencoba mengetuk pintu itu pelan-pelan khawatir terdengar kamar yang lain.
"kleekk," pintu tersebut terbuka, Radit terkaget melihat siapa yang telah berdiri di dalamnya.
"hai sob.....lama ya kita nggak ngobrol, yuk masuk", tawar Dimas. Melihat siapa yang ada di hadapannya kembali buku derita Radit terbuka. Amarah yang membara dan rasa kekecewaan sepertinya sudah di hadapan matanya. Entah setan apa yang merasuki diri Radit sehingga ia langsung saja menerkam Dimas dengan tendangannya langsung mengenai tengkuknya. Spontan saat itu Dimas terjatuh terjerembab di bawah meja. Akhirnya adu mulut disertai kekerasan fisik pun terjadi. Entah malam itu malam jahanam seisi kamar kost tempat itu tidak ada yang keluar seorang pun. Hanya suara lolongan anjing dan ranting-ranting pohon berhembus mencakar temdok rumah menjadi saksi dua pemuda yang dilanda emosi.
"Asal loe tau saja, gue tersiksa melihat loe jalan terus dengan Safira. Gue ada hati sama dia, namun kedahuluan loe. Aku tau Safira nggak mungkin suka ma gue. Loe bisa saja memiliki dia selamanya, tapi aku lebih dulu memiliki keperawanannya," ucapan Dimas seketika itu adalah ucapannya yang terakhir. Gunting panjang yang terletak diatas meja itu diambil alih oleh Radit dan sudah ditancapkan diatas perut Dimas.
Keesokkan harinya polisi menemukan mayat tersebut. Disertai bukti-bukti yang kuat dari saksi dan kerabat korban termasuk Safira ceweknya dengan mudah polisi menetapkan tersangka kepada Raditya Adigunarta (Radit).
Dua hari penetapan tersangka pada Radit, masyarakat pesisir Pantai Halmahera menemukan mayat yang menggantung pada ranting kokoh pohon damar diatas batu granit. Safira sangat terkejut setelah melihat keadaan Radit yang sangat mengenaskan itu.
Dua tahun kemudian . . . . . . .
“Ayo naik ke atas!!” teriak Safira dari atas kepada seorang cowok kurus berkacamata dan mempunyai lesung pipit di pipi kirinya itu.
“Nggak ah! Di bawah aja!!” teriaknya.
“Ayo dit!!” teriak Safira lagi sambil meraih tangan Radit dan menariknya ke atas.
“Tu liat? Indahkan pemandangannya?”
Radit mengangguk pelan. Ia tersenyum sambil menghirup udaranya dalam – dalam. Ia merentangkan kedua tangannya di ujung batu besar tersebut. Baju kemejanya melayang – layang seperti terbang. Safira tertegun melihat pemandangan itu. Tanpa sadar airmata menetes dan mengalir di pipinya. Radit melihatnya dengan heran.
“Ada apa dek?” tanyanya dengan nada heran. Safira menyeka air matanya dan langsung memeluk tubuh Radit. Radit mengusap rambut panjangnya dengan lembut. Perlahan Safira melepaskan pelukannya.
“Gaya kamu tadi mengingatkan aku pada seseorang,” ucapnya lirih. Radit mengernyitkan dahinya.
“Siapa?”
“Orang yang paling kucintai.”
“Siapa dia dek?” tanya Radit lagi dengan raut wajah yang sedikit cemburu.
“Namanya Radit,” jawabnya singkat.
Radit makin tidak mengerti.“Kamu lucu ya dek. Itu aku kan?” tanyanya tertawa kecil.
Safira berjalan perlahan menuju pohon damar besar yang tumbuh di atas celah batu granit besar tersebut.“Dulu aku punya pacar. Namanya Radit.”
“Oh . . . aku sekarang tau, kamu terima aku jadi cowok kamu karena namaku sama dengan mantan kamu yang dulu,” komentar Radit dengan nada malas. Safira mengelus pipinya pelan.
“Kau cemburu?” Tanya Safira tersenyum manis.
“Aku nggak cemburu, siapa lagi yang cemburu?” bantahnya dengan salah tingkah.
“Kamu nggak perlu cemburu lagi sama orang yang telah meninggal,” ucap Safira mengejutkan Radit.
“Maksudmu?”
“Ya, Radit telah meninggal bulan September dua tahun yang lalu . Dia bunuh diri. Tepatnya di sini, di pohon damar itu,” jawab Safira seraya menunjuk pohon damar besar nan rimbun yang tidak diketahui berapa usianya itu.
Wusshh . . . . !!!! seketika hembusan angin menjadi kencang menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di bawahnya. Tiba – tiba tubuh Radit menjadi dingin. Bulu kuduknya berdiri. Ia merapatkan kedua tangannya di dada.
“Raditya Adigunarta, menjadi buronan setelah membunuh temannya sendiri,Dimas.Terakhir dia mengakhiri hidupnya di sini,” kenang Safira. Dahan pohon beringin tersebut mulai bergerak – gerak ditiup angin. Bunyinya gemerisik seakan memberi pertanda bahwa Radit hadir di tengah – tengah mereka berdua.
“Tragis sekali nasibnya.”
“Kau tau mengapa dia membunuh temannya?” tanya Safira. Radit menggeleng.
“Dia membunuh temannya karena temannya tersebut telah memperkosa aku.”
Radit terkejut mendengarnya. Satu hal penting yang tidak diketahui olehnya selama ini akhirnya terungkap dari bibir Safira sendiri.
“Apa? Perkosaan?” katanya terkejut.
“Ya, aku ingin jujur kepadamu dit. Dan kuharap kau bisa mengerti. Kalaupun kau ingin meninggalkanku sekarang, aku siap menerimanya,” ucapnya dengan mata berkaca – kaca. Radit memegang kedua tangannya. Lalu ia meminta Safira melanjutkan cerita.
“Dimas memperkosaku karena dia cemburu kepada Radit,”.
Radit mengernyitkan dahinya.
“Cemburu?”
“Ya, karena Dimas sedari dulu menyukaiku tetapi Radit menjadi pemenang di hatiku“Sudahlah dek. Yang lalu biarlah berlalu. Aku bisa menerimamu apa adanya walaupun dulu kau pernah dilecehkan,” kata Radit menenangkan sambil mengusap punggungnya pelan.
“Terima kasih dit,” ucap Safira dengan suara yang serak.
“Walaupun kau telah tiada, kau tetap akan selalu ada di dalam hatiku, dit. Aku tidak bisa membencimu walaupun telah kucoba berulangkali. Kini aku memulai lembaran kisah hidup yang baru. Kau lihat!! sekarang aku juga punya pacar. Namanya RADIT. Sama saat aku memanggilmu dulu. Oh iya, kalung liontin pemberianmu masih kusimpan baik – baik, begitupun dengan jaketmu. Kau dulu pernah berkata “Jika kau rindu aku, pakai saja jaketnya. Aku akan hadir di dekatmu.” Aku selalu ingat akan kata – kata itu,” ucapan Safira itu hanya ia saja yang mendengar. Sementara Radit masih sibuk dengan matanya yang menikmati Pantai Halmahera dari atas batu granit besar persis seperti ulah Raditya Agunarta dulu.
0 komentar:
Posting Komentar