Oleh: Jef Kenzie
Kasih
ibu,
Kepada
beta
Tak
terhingga sepanjang masa
Hanya
memberi
tak
harap kembali
Bagai
sang surya, menyinari dunia.
Lagu itu,
sudah sekian kali keluar dari mulut anak didikku. Membekaskan setetes
kerinduan. Sebuah cerita panjang yang terukir dalam riwayatku. Terlalu indah
dilupakan, jua sedih bila dikenang.
“Bu Rina, kok
bengong sih?,” ucapan kiki memudarkan lamunanku. Selalu, muridku yang lucu ini
mengardik lamunan yang tiap pagi seakan terjadwal.
“Enggak sayang,
ayo semua menyayi lagi. Dengan suara yang lantang ya?” perintahku diikuti
mereka. Satu, dua kali suara merdunya menjadi ajang penyaluran rindu pada
sosoknya. Ibu, perempuan yang menjadi motivatorku kini.
Jam pulang
yang aku tunggu akhirnya tiba. Seperti biasa, menanti sosok yang seminggu ini
tak kujumpai. Sapaan dari ibu-ibu yang mengantar anaknya, kerapkali membuatku
iri. Jalanan trotoar yang aku lewati tak kunjung menampakkan sosok itu.
Percikan kristal langit menyerbu orang-orang yang tengah barjalan. Ku berlari
berharap blazzer abu-abuku tetap kering. Halte yang biasanya sepi, kini terusik
kediamannya. Ucapan sumpah serapah keluar dari mulut bapak penjual es teller
yang jaraknya tak bisa dikatakan jauh dariku. Gerutunya melengkapi tabuhan
langit. Cahaya halilintar membuatku bergidik ngeri.
Pelataran
gereja di depan seakan menggoda memori yang lama kusembunyikan. Kulihat seksama
tempat itu. Orang itu, yang aku cari selama ini tengah membenahi dagangannya.
Suara petir kian bergemuruh. Hujan begitu egois memberikan jalan antara diam
atau maju. Tak kuperdulikan ocehan orang di halte yang memanggilku. Pekatnya
rintik hujan membuat softlense yang kupakai lepas.
“Emak…..!!!,”
teriakkanku seakan tertelan hujan. Tubuhnya yang kering bertulang masih
tergambar jelas.
“Mak….!!!,”
ucapku seraya memegang bahunya. Tak ada daging yang membalut tubuhnya. Namun
bahu yang begitu kokoh identik dengan pekerjaannya sabagai penjual jamu
gendong.
“Mak,
panjenengan[1] ingat saya mak?,” beliau mengucek matanya, seakan kabut tebal
menutup penglihatannya.
“Oh, genduk[2]…
nduk Rina ya?,” kali ini ia mendudukkanku pada pintu gereja. Lagi-lagi
pandangannya tajam. Seakan aku ini adalah kencur yang biasa beliau samakan
dengan kunir. Ya, bentuknya sama. Beliau harus melihat dengan seksama agar tak
salah meramu jamu dagangannya.
“Kok mboten
teng sekolah Mak?,” beliau tak menjawab. Tangannya menepuk kakinya yang
terbalut sewek coklat tua. Aku mengerti, jarak untuk menempuh sekolah sudah tak
bisa dikatakan dekat lagi.
“Laris Mak?,”
aku mengambil segelas beras kencur dari tangannya. Tergurat senyum masam yang
berarti kali ini beliau harus rugi. Aku memandangi lakat-lekat wajah Mak Yati,
alisnya yang tak tertampak lagi menjadi bukti sejarah kota ini. Pikranku
menerawang jauh, sedangkan Mak Yati bersendekap memeluk tangannya. Ia
silangkan, dan menutup matanya.
*******
“Ayo Rin
pulang….”
“Enggeh mak,
tak beto’aken[3] mak,” ibuku berjalan menyusuri gang desa. Kebiasaanku sepulang
sekolah membatu ibuku berdagang jamu. Tangannya yang ta kuat lagi, membuatku
tak kuasa melihat beliau berdagang. Namun, hanya ini jalan kami untuk makan.
Seringkali teman-teman mengejek aku terlahir sebagai anak haram. Ayah yang lama
kurindukan, nyata sekali tak menginginkanku. Entah semenjak usiaku 4 tahun, ayah
pergi dan itu awal ibuku meretas nasib. Namun, tak lama menekuni nasib itu,
ibuku meninggal. Liver menahun yang beliau derita membuatku syok. Selama ini
tak ada keluhan dari tubuh tegarnya. Semua tersimpan rapi. Sepeninggalan ibuku,
kehidupanku sepi. Keseharianku berteman dengan anak-anak yang statusnya sama
denganku. Ya, panti asuhan. Usia 5 tahun harus merasakan kasih sayang yang
terlupakan.
*******
Langit Bangka seakan mulai berpijar. Menorehkan
pelangi yang diselipkan pada gumpalan awan. Hal seperti ini selalu aku
rindukan, ingin bertemu ibuku. Kulihat Mak Yati, sosok penjual jamu yang kerap
aku ajak bercerita. Tentang hidupku, tentang ibuku. Hingga beliau cekikikan
saat aku menceritakan kebiasaanku menumpahkan jamu buatan ibu.
“Mak, terang
mak!” Mak Yati terbangun perlahan. Entah apa yang ia mimpikan tadi. Mungkin
sama halnya denganku, merindukan seseorang.
“Mak, emak
tidak pulang?”
“Rugi emak
Nduk, kalau pulang jam segini,” sembari kulihat tatapan matanya. Masih ada
gambaran jamunya akan laku setelah hujan reda.
“Yowes Mak,
Rina wangsul[4] dulu…,” aku jabat tangan Mak Yati. Ya, aku sudah menganggap
beliau sebagai ibu kandungku sendiri. Sosoknya yang aku rindukan selalu
tersalurkan kepada Mak Yati.
Kasih ibu..
Kepada Beta…..
Tak terhingga sepanjang masa….
Liri lagu
yang diciptakan Pak SM Mochtar seakan bukti cintanya anak kepada ibunya. Lagu
itu, terus bergumam menemani langkahku pulang. Saat pelangi itu pudar, aku
berharap kerinduanku tetap terjaga. Meski sebatas angan.
Catatan:
1.
Panggilan
‘kamu/anda’ dalam bahasa jawa halus
2.
Panggilan anak
cewek dalam bahasa jawa
3.
Dibawa
4.
Pulang
0 komentar:
Posting Komentar