Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

Kamis, 06 Juni 2013

Abad Kesunyian

       Lalu, siapa adam yang kian buatmu resah, Nduk? Dia yang tanpa erat memeluk keyakinan atas harapan yang tersemai hati.  Harusnya kau mulai bertapak hati menanggalkan sejarah dimana esokmu terlebih nyata. Sementara kota ini terus mengiba selama waktu kau ulur sia-sia.  Benar, kota ini terlebih ringkih dibanding napas yang kau asakan. Ini hanya masalah waktu, bukan tentang seberapa kau kuat seperti kami. Rasakan kota ini, bangunan-bangunan dengan warna memudar bahkan tak sesekali aneka Bryophyta1 bermanja pada tubuh penggumam zaman. Manusia lebih mengenalnya Chinese Voorstraat2, dua per tiga abad silam kawasan ini terkenal akan kebisingan dunia malam. Sejarah ini persis seperti  perjalananmu dengan lelaki yang kau puja. Namun naasnya, para Jugun ianfu3 tak pernah merasakan besarnya cinta sepertimu. Hanya menjadi lampiasan birahi hewan lalu dicampakkan begitu saja. Aku mengerti seberapa hebat cinta dari lelaki yang kau sebut Kapten Bhirawa. Sebenarnya aku tahu ia bukanlah kapten, namun kau selalu menyangkal bahwa ia adalah pejuang hebat yang pantas dianugerahi sebutan kapten.

       Nduk… apakah aku bisa memanggilmu demikian? Sementara tiga per empat abad usiamu bagiku ganjil memanggilmu dengan sebutan itu. Aku mampu mendeteksi kelindan pikirmu. Kau tak lelah, dan mungkin tak akan lelah. Sejak lima puluh tahun terakhir ini, kau selalu mendatangi tempat ini, bahkan sebelum pijarnya alam berpendar. Mungkin terbilang lama bagi orang waras di sekitamu, tapi tidak bagimu kan? Ya, kau butuh tempat untuk bercerita sekedar menceritakan kenapa kau mencintainya hingga larut. Kukira lebih tepatnya bagaimana kau tetap menyimpan ruang baginya sementara orang seusiamu tengah diam dalam dekapan anak cucunya. Mungkin kau bisa menceritakan tentang isi surat cinta yang malam itu ia selipkan diantara waktu shubuh  di depanku. Mengingat surat cinta, kau mengingatkanku kala itu.
       
       “Bhirawaaaaa!” ucapmu. Sudah lebih 438000 kali dalam lima puluh tahun ini kau sebutkan namanya itu berarti setiap jam dalam setengah abad kau setia menyebut namanya. Aku mengerti mengapa kau setia menyimpan ruang untuknya. Mungkin tentang surat cinta itu kan? Ayolah bercerita atau mungkin aku sendiri yang menebaknya?

       “Ini tugasku sebagai kapten. Aku tak bisa membiarkan para PKI itu menjawil4 negeri ini. Tenanglah.. Surabaya bukan tempat kejam untuk berperang. Semoga puisi ini turut menemani harimu jika suatu saat aku tak kembali” ucap lelakimu menyerahkan secarik kertas cinta tersebut. Oh iya, surat cinta itu pasti sebuah puisi, benar kan? Kau tak menggubrisku. Kau tetap asik menatap sunyinya tempat ini. Tatapan kerinduan yang coba kau sampaikan pada malam, mungkin kau bisa mengajakku bercerita. Berdiskusi tentang lelaki hebatmu, tentang sorot mata elangnya atau tentang bagaimana perjuangannya menjadi Seinendan5. Mendadak aku tersadar. Kalaupun kau bercerita padaku, aku tak mungkin bisa menjawabnya. Ya, karena aku hanyalah sebatang pohon akasia, yang telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu. Sudahlah lupakan permintaanku. Lihatlah, empunya sinar tengah beringsut menjemput malam. Mega-mega berhias bergelantungan diujung langit. Sementara ringkih tubuhmu berjalan terseok menjauh, itu artinya kau akan pulang dan kembali esok harinya diantara shubuh berkumandang.

Catatan kaki:

  1. Sejenis tumbuhan lumut daun
  2. Kawasan pelacuran di era penjajahan Jepang
  3. Sebutan untuk wanita penghibur era penjajahan Jepang
  4. Sikap usil
  5. Barisan pemuda bentukan era penjajahan Jepang






2 komentar:

Link jangan terpisah dari kalimat penutup. Silahkan direvisi.
Terima kasih

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites