Judul:
Ujian Lisan (Oral Test) sebagai Media Kontrol Kejujuran Pelajar SMA Negeri 1 Grati
Latar Belakang:
• Ulangan harian. Kebiasaan mencontek yang semakin lumrah serta berbagai banyaknya modus/cara mencontek yang lebih canggih. Hal ini berdasarkan pengamatan merupakan kecenderungan untuk menghindari nilai mati (< KKM). Namun dalam perkembangannya menghindari nilai mati bukan lagi yang dinomor satukan, melainkan meraih nilai sempurna atas dasar “gengsi” antar sesama teman.
Disisi lain, perbedaan nilai yang mencolok antar teman sepermainan membuat “si-oknum” memakai berbagai cara agar nilai dalam berbagai ulangan hariannya terangkat, minimal sama dengan temannya.
• Ujian Tengah Semester. Merupakan kasus kecurangan terbaik sepanjang masa sekolah saya. Semua berlomba-lomba memiliki nilai sempurna baik melalui cara yang benar bahkan tidak sedikit melalui cara yang kotor. Hal ini didasarkan pada rasio mereka bahwa “UTS tidak ada remidi dan orangtua mengetahui nilai asli mereka, jadi UTS harus bagus”, sehingga pemikiran seperti yang sudah tertanam ini semakin memperparah kasus kecurangan yang masih belum tertuntaskan. Saya menemukan berbagai kejanggalan yang tidak hanya dilakukan oleh siswa, melainkan melalui “oknum” guru sendiri. Seperti, membiarkan kerjasama dalam situasi ujian berlangsung. Tidak hanya itu, salah satu nilai UTS mata pelajaran hampir kebanyak satu kelas dipukul sama rata. Rata-rata berkisar diantara 75-80. Hal ini berbeda bila dilihat dari segi soal ujian yang masih terbilang mudah, dan mampu siswa prediksikan meraih nilai kisaran 90.
• PIB (Program Intensifikasi Belajar). Opini saya selama mengikuti kegiatan PIB ini adalah sangat sia-sia. Alasannya: Sistem PIB lebih ditekankan pada pengerjaan soal yang terbilang materi kelas 10-12 dimana dominan siswa akan mengalami kesulitan dan akhirnya banyaknya waktu yang disediakan terhabiskan hanya dengan obrolan semata. Tidak ada usaha dalam menjawab soal PIB. Kegiatan dan tradisi mencontek masih berlanjut. Hal ini berlatar belakangkan bahwa hasil PIB “tidak akan” mempengaruhi nilai raport mereka. Kesimpulannya, PIB bukan jawaban yang efektif bagi pengukuran tingkat kejujuran maupun tahap pelatihan persiapan menghadapi Ujian Nasional. Karena PIB berkesan lebih memberikan porsi pengerjaan soal lebih banyak ketimbang waktu pembahasan yang relatif singkat.
Pembahasan:
Melihat latar belakang diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan yang dihadapi ialah:
1. Kecurangan berorientasi pada nilai ujian
2. Kecurangan berorientasi pada rasa malu dalam teman sepermainan
3. Tidakan guru yang membiarkan siswa berkerja sama dan memukul nilai sama rata juga merupakan tindakan kecurangan.
Keuntungan sistem Oral Test bagi tenaga pengajar:
1. Efisiensi dan efektifitas seorang pengajar untuk memberikan nilai, karena nilai akan lebih cepat diketahui.
2. Pelaksanaannya begitu sederhana.
3. Pengajar lebih mengetahui masing-masing kemampuan siswa hingga mampu memberikan pengayaan dan perhatian yang seimbang terhadap setiap siswanya.
4. Turut menciptakan karakter jujur dalam pendidikan. Bayangkan bila dalam ujian masih menggunakan sistem konvensional. Setiap pertemuan 2x45 menit. Pengajar akan meluangkan waktu sepuluh menit untuk membacakan soal, sementara untuk 80 menit yang tersisa akan dimanfaat sebaiknya oleh setiap siswa untuk mengerjakan soal. Tidak menutup 80 menit tersebut untuk melakukan kecurangan. Dan siapa yang ikut andil?
Keuntungan sistem Oral Test bagi siswa:
1. Siswa mampu mengetahui kemampuan aslinya.
2. Siswa akan berusaha untuk menjadi terbaik hanya dengan kemampuan dirinya, karena ia tidak akan mampu meminta bantuan teman lainnya.
3. Siswa lebih termotivasi berbuat lebih baik karena tekanan “gengsi” untuk menghindari dari nilai buruk.
4. Siswa merasa lebih dihargai dan diperhatikan apabila mendapatkan pengayaan dan perhatian khusus pengajar.
5. Tidak ada konflik antar siswa yang menggunakan cara baik dan siswa yang menggunakan cara kotor dalam hasil ujian, karena setiap siswa lebih mengetahui masing-masing kemampuan kompetitornya.
0 komentar:
Posting Komentar