Hari ini adalah waktu yang sudah sangat lama aku nantikan. Semenjak kepergianku ke negeri sakura setahun lalu membuatku tak dapat lagi menahan rasa kangen kepada emak, bapak juga adik-adikku. Keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan memotivasiku untuk berjuang keras mendapatkan beasiswa S1 ini. Alhamdulillah atas do'a emak, bapak juga adik-adikku akhirnya aku mampu mendapatkannya. Gelar Sarjana Teknologi Perikanan Universitas terkemuka di Jepang telah aku sandang. Dua jam lagi pesawat akan menerbangkanku menuju Indonesia lalu menuju kota kelahiranku, Surabaya. Ditengah banyaknya orang yang berlalu lalang dan teman-teman seprofesi yang turut mengantarkan kepulanganku tak terlihat seorang gadis yang kuharapkan hadir saat detik terakhir melihatnya. Namanya Maurine, ia gadis berkebangsaan Jerman yang berkuliah satu fakultas denganku. Namun, ia ke Jepang bukan mendapatkan beasiswa sepertiku, melainkan mengikuti keluarganya yang pindah.
Ia adalah kekasihku sudah tujuh bulan lamanya. Mempunyai tubuh yang ideal, kulit yang putih serta kacamata hitam yang selalu melekat di wajahnya adalah sosok yang membuatku jatuh cinta. Ia sepertinya tak rela melepaskan kepergianku. Tadi malam adalah terakhir kali aku berkencan dengannya. Aku teringat saat ia menangis terseduh meneteskan air matanya yang menyejukkan pada bahuku.
" This time it will surely come, I know it. I do not like if your leaving will bring our love is not as beautiful as ever,”
(waktu ini memang pasti akan tiba, aku tahu itu. Aku tak ingin jika kepergianmu akan membawa cinta kita tak seindah biasanya) ujarnya saat itu.
Kami telah berjanji bahwa jarak bukanlah hal yang mampu memisahkan cinta kami. Seketika mengingat kejadian tadi malam, tak terasa sepasang tangan lembut merangkulku dari belakang. Ku putar badanku menatap siapa orang yang memelukku itu. Terlihat wajah sembab Maurine yang memelukku. Kubalas pelukannya dengan erat untuk membuatnya lebih kuat dan tenang menjelang kepulanganku. Tak dapat dibendung, tangisan Maurine kembali meledak saat pesawat yang aku tumpangi akan segera diberangkatkan. Meski ini sangat berat bagi kami berdua, namun aku mencoba meyakinkan dia bahwa kami pasti bisa bersatu.
''Good bye Rey, I will always love u, I will miss you every time,"
( Selamat jalan Rey, aku akan selalu mencintaimu, aku akan merindukanmu setiap waktu) kalimat itulah yang terakhir kudengar dari mulut Maurine. Aku hanya menanggalkan senyum seindah mungkin padanya. Derap langkah kakiku terhenti ketika seorang pramugari mengecek tiket pesawatku. Ketika itu pula aku memasuki semacam ruangan panjang seperti lorong hingga sekejap wajah cantik Maurine hilang di pandangan mataku. Aku tahu ia sangat sedih, namun aku kembali meyakini Tuhan tak mungkin pisahkan kami dengan cara ini.
Kurang lebih 10 jam aku telah berada di dalam pesawat yang akan mendaratkan tubuhnya ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Aku sangat tidak sabar ingin bertemu keluargaku di Indonesia. Tak lama pun pesawat mendaratkan kakinya dengan selamat. Seluruh penumpang berdiri dan membawa barang masing-masing menuruni anak tangga pesawat itu. Ini sudah kali kedua aku menuruni tangga pesawat setelah sebelumnya berada di Jepang. Aku selalu bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan untukku. Wajah emak, bapak dan adikku setahun lalu membayangi rona ingatanku. Namun tak kujumpai mereka di dalam bandara yang sangat besar itu. Aku memakluminya, karena mungkin ongkos dari Surabaya-Jakarta sangatlah mahal bagi keluargaku. Bagi emak, asalkan dapur mengepul mereka sudah bersyukur. Memang emak, selalu mengajarkan cara bersikap hemat pada anak-anaknya. “Alhamdulillah Ya Allah, hamba tiba di Indonesia dengan selamat, hamba bersyukur engkau berikan kami kehidupan yang lebih baik dari mereka yang kurang beruntung dari keluarga hamba,” suara itu hanya aku saja yang mendengarnya. Akan tetapi kekecewaanku tak begitu panjang karena sahabat-sahabatku ternyata menyambut kedatanganku. Derai air mata mewarnai perjumpaan kami kembali. Mereka dengan segera mengantarkanku pulang ke Surabaya dengan mobil seorang sahabatku. Rencana untuk menaiki pesawat menuju Surabaya pun gagal. Aku sangat menghargai kebaikan para sahabat-sahabatku. Namun, kami menuju masjid terdekat untuk melaksanakan sholat ashar yang satu jam tadi sudah berlalu. Perjalanan menuju Surabaya kami tempuh dengan waktu 15 jam lebih. Tepat sekitar jam 10 pagi aku tiba di depan rumah yang setahun tak pernah kulihat. Tampak dari depan pintu yang sudah keropos, lantai ubin yang banyak lubang-lubang berbeda dengan rumah host family ku di Jepang. Senyum sumringai dan haru bahagia terpancar dari rona keluargaku. Emak adalah orang pertama yang memelukku dengan disertai air mata. Sehari penuh ini aku habiskan waktu dengan keluarga besar dan para sahabat-sahabatku. Selang lima hari sudah ku berpisah dengan Maurine. Rasa kangen dan segala macam rasa bercampur aduk dalam keseharian tanpa Maurine.
Meratapi masa-masa seperti ini bagiku tiada arti sama sekali. Sebab dengan jalan inilah aku mampu menilai sejauh mana kekuatan cinta kami berdua. Aku selalu meyakinkan Maurine bahwa takkan pernah ada pengkhianatan batin antar kami berdua. Sajak-sajak meluluh lantahkan keyakinan saat kuasa Tuhan berkehendak. Pagi itu, tepat dua minggu kepulanganku tersiar kabar miris dari negeri sakura. Gempa tektonik disertai gelombang Tsunami dahsyat menghujam negara Jepang. Keadaan itu menyedakkan telingaku dan pemerintah Jepang. Mendengar itu, aku bergegas menelepon apartemen yang disinggahi keluarga Maurine. Namun semua sia-sia tak ada satupun sambungan yang dapat menyalurkan teleponku. Aku lunglai seketika, tubuhku lemas seperti kapas berterbangan tak tentu arah. Ku teringat terakhir kalinya pelipis kananku terbentur ujung meja tamu yang tumpul. Suara emak dan adikku histeris saat melihat tubuhku terbujur tak sadarkan diri diatas lantai.
Saat tersadar dari pingsan, ku merasakan sebuah kassa dan plester mengganjal di pelipis kananku. Entah berapa kali mentari terbit dan berapa kali bintang bersinar aku telah melupakannya. Kehidupan yang berjalan ini tak pernah ku sadari. Keseharianku hanya terhabiskan oleh lamunan semu. Keluargaku sempat khawatir melihat kondisiku yang kian berubah. Namun aku selalu meyakinkan mereka tak terjadi masalah apapun. Aku lebih mengkhawatirkan nasib Maurine. "Apakah dia tetap ada atau dia sudah tiada?," pertanyaan itu seakan menjadi teman setiap waktu.
Kembali kucoba menghubungi pengelola apartemen keluarga Maurine. Kuberharap kali ini aku mendapat jawaban pasti. Hatiku deg-degan tatkala seorang pria diujung telepon mulai berbicara dengan logat Inggris. Setelah menyampaikan tujuanku, tak berapa menit dia kembali menyapaku. Hal yang selalu terfikirkan selama ini ternyata benar terjadi. Maurine Covortzemskha beserta keluarganya menjadi bagian dari korban bencana Jepang. Ku tutup segera telepon itu, ku berteriak menangis sekencang-kencangnya. Aku bebas menangis sepuasnya. Karena situasi rumah yang sepi sedangkan keluargaku menjenguk anak tetangga yang sakit parah. Aku prihatin kepadanya. Aisyah cantik gadis berjilbab itu pernah dijodohkan denganku, namun aku menolaknya karena ingin melanjutkan sekolahku dulu. Penyakit kanker serviks telah dideritanya selama ini.
Hari-hariku sempat terbengkalai karena kehilangan sosok Maurine. Namun, aku harus ikhlas dan ku do'akan Maurine tenang di alamnya.
Malam harinya rupanya emak, bapak serta adik-adikku sudah datang dari rumah Aisyah. Namun anehnya, Aisyah juga ikut mendatangi rumahku. Ibuku bilang kanker yang menyerang Aisyah sudah hilang. Mendengarnya akupun senang dan mengajak Aisyah untuk ngobrol diluar.
"Powpow apa kabar?,".
"Glekk...," mendengar dia berbicara seperti itu aku kaget setengah mati. Powpow adalah nama panggilan sayang Maurine untukku.
"Pow, Mowmow kangen banget sama Powpow,"lanjutnya.
Aku semakin tak mengerti. Semua yang ia bicarakan persis seperti Maurine biasanya. Dari nama sayang kami berdua, makanan, film dan yang terakhir adalah lagu. Aku bingung. Lama aku terdiam menatapnya dan dia kembali menatapku.
"Pow, aku mau tanya,".Aku mengiyakan permintaan ia barusan.
"Powpow percaya nggak tentang sebuah roh yang berpindah ke jiwa yang tiada roh?," tanya Aisyah.
"Maksud kamu reinkarnasi?," jawabku.
"Iya, percaya nggak?" pertanyaannya semakin membuatku bingung. Pertama, Aisyah kenapa sampai tahu seluk beluk aku dan Maurine. Kedua, kenapa ia bertanya hal yang jarang aku rasakan. Kembali aku bingung dan terdiam.
"Aku dulu tak percaya sebuah reinkarnasi, sama seperti katamu dulu. Namun sekarang aku telah merasakan itu. Pow, ini aku Maurine," kembali ia berbicara fakta yang mengejutkanku. Detak jantung yang awalnya berdetak normal, kini menjadi cepat. Aku syok, pandanganku kabur dan akhirnya semua gelap. Ketika ku tersadar dari pingsanku, wajah Aisyah menjadi panorama yang selama ini tak pernah aku lihat. Aku berpikir sejenak mengenai ucapannya tadi. Apakah inijawaban atas keyakinanku selama ini, bahwa kami tak mungkin terpisahkan dengan cara apapun? Bahkan kematian sekalipun, hingga mengantarkan roh Murine kedalam tubuh Aisyah? Dan apa yang terjadi dengan Aisyah, apakah dia mati?.
“Kamu tak perlu takut Rey, aku bukan jelmaan setan yang merasuki tubuh Aisyah. Ketika beberapa waktu yang lalu Aisyah telah tiada dan aku entah kenapa serasa hidup kembali. Dan aku hidup dalam tubuh Aisyah ini,” jelasnya panjang lebar.
Mendengar itu aku langsung memeluk tubuhnya erat-erat dan sejenak melupakan problema dua roh yang membuatku pusing. Aku sangat cinta pada Maurine dan aku benar merasakan Aisyah kini berganti menjadi sosok Maurine meskipun bukan fisiknya. Tetapi aku lebih bahagia, karena Maurine yang berada dalam tubuh Aisyah kini seiman dengan ku.
“Ya Allah, aku terlalu bodoh menilai makhlukmu. Aku tak mengerti mengenai jalan yang engkau pilihkan untukku. Sejujurnya aku mencintai Maurine bukan Aisyah. Namun jiwa Maurine yang kucintai yang tak halal di agama-Mu kini berada dalam raga Aisyah yang tak pernah ada rasa di hatiku. Salahkah aku meyakini sebuah reinkarnasi? Tegur aku Ya Allah bila aku salah dalam perjalanan mendapatkan jodoh yang halal di hadapanmu,” rintihanku itu sempat terdengar oleh Maurine.
“Rey, siapkah kau menghadapi teka-teki Tuhan akan perjalanan cinta kita selanjutnya?,” tanyanya.
“Tentu,”. Jawabku seraya menyimpulkan senyum manis dihadapannya.