Lalu, siapa adam yang kian buatmu resah, Nduk? Dia
yang tanpa erat memeluk keyakinan atas harapan yang tersemai hati. Harusnya kau mulai bertapak hati menanggalkan
sejarah dimana esokmu terlebih nyata. Sementara kota ini terus mengiba selama
waktu kau ulur sia-sia. Benar, kota ini
terlebih ringkih dibanding napas yang kau asakan. Ini hanya masalah waktu,
bukan tentang seberapa kau kuat seperti kami. Rasakan kota ini,
bangunan-bangunan dengan warna memudar bahkan tak sesekali aneka Bryophyta1 bermanja pada
tubuh penggumam zaman. Manusia lebih mengenalnya Chinese Voorstraat2, dua per tiga abad silam kawasan ini
terkenal akan kebisingan dunia malam. Sejarah ini persis seperti perjalananmu dengan lelaki yang kau puja.
Namun naasnya, para Jugun ianfu3
tak pernah merasakan besarnya cinta sepertimu. Hanya menjadi lampiasan
birahi hewan lalu dicampakkan begitu saja. Aku mengerti seberapa hebat cinta
dari lelaki yang kau sebut Kapten Bhirawa. Sebenarnya aku tahu ia bukanlah
kapten, namun kau selalu menyangkal bahwa ia adalah pejuang hebat yang pantas
dianugerahi sebutan kapten.
Nduk… apakah aku bisa memanggilmu
demikian? Sementara tiga per empat abad usiamu bagiku ganjil memanggilmu dengan
sebutan itu. Aku mampu mendeteksi kelindan pikirmu. Kau tak lelah, dan mungkin
tak akan lelah. Sejak lima puluh tahun terakhir ini, kau selalu
mendatangi tempat ini, bahkan sebelum pijarnya alam berpendar. Mungkin
terbilang lama bagi orang waras di sekitamu, tapi tidak bagimu kan? Ya, kau
butuh tempat untuk bercerita sekedar menceritakan kenapa kau mencintainya
hingga larut. Kukira lebih tepatnya bagaimana kau tetap menyimpan ruang baginya
sementara orang seusiamu tengah diam dalam dekapan anak cucunya. Mungkin kau
bisa menceritakan tentang isi surat cinta yang malam itu ia selipkan diantara
waktu shubuh di depanku. Mengingat surat
cinta, kau mengingatkanku kala itu.
“Bhirawaaaaa!” ucapmu. Sudah lebih
438000 kali dalam lima puluh tahun ini kau sebutkan namanya itu berarti setiap
jam dalam setengah abad kau setia menyebut namanya. Aku mengerti mengapa kau
setia menyimpan ruang untuknya. Mungkin tentang surat cinta itu kan? Ayolah
bercerita atau mungkin aku sendiri yang menebaknya?
“Ini tugasku sebagai kapten. Aku
tak bisa membiarkan para PKI itu menjawil4
negeri ini. Tenanglah.. Surabaya bukan tempat kejam untuk berperang. Semoga
puisi ini turut menemani harimu jika suatu saat aku tak kembali” ucap lelakimu
menyerahkan secarik kertas cinta tersebut. Oh iya, surat cinta itu pasti sebuah
puisi, benar kan? Kau tak menggubrisku. Kau tetap asik menatap sunyinya tempat
ini. Tatapan kerinduan yang coba kau sampaikan pada malam, mungkin kau bisa
mengajakku bercerita. Berdiskusi tentang lelaki hebatmu, tentang sorot mata
elangnya atau tentang bagaimana perjuangannya menjadi Seinendan5. Mendadak aku tersadar. Kalaupun kau
bercerita padaku, aku tak mungkin bisa menjawabnya. Ya, karena aku hanyalah
sebatang pohon akasia, yang telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu.
Sudahlah lupakan permintaanku. Lihatlah, empunya sinar tengah beringsut
menjemput malam. Mega-mega berhias bergelantungan diujung langit. Sementara
ringkih tubuhmu berjalan terseok menjauh, itu artinya kau akan pulang dan
kembali esok harinya diantara shubuh berkumandang.
Catatan kaki:
- Sejenis tumbuhan lumut daun
- Kawasan pelacuran di era penjajahan Jepang
- Sebutan untuk wanita penghibur era penjajahan Jepang
- Sikap usil
- Barisan pemuda bentukan era penjajahan Jepang