Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

Sabtu, 08 September 2012

Bapak… Andai Aku Terlahir Istimewa


Gili Ketapang, Januari yang memerah…

    Aku gagal. Manusia terbodoh sepanjang kehidupan keluarga. Semua telah aku abaikan untuk terfokus pada satu yang kuanggap tepat. Dari kehidupan sekolah yang kutinggal selama berminggu-minggu. Ketidak hadiranku dalam kelas bimbel, hingga keluarga yang kuasingkan atas mauku. Semuanya atas kehendak egoku yang terlampau imajiner. 
    “Aku bisa!”. “Akan kubuktikan pada mereka!” seringkali berbagai perdebatan mewarnai hariku yang kian buruk. Aku percaya pada dasarnya manusia terlahir istimewa. Sejak kecil aku merasakan diriku berbeda. Aku tak menyukai keramaian. Aku merasakan tak pandai dalam berhitung. Bahkan aku juga menyadari diriku tak terlahir untuk menghabiskan waktu dengan hitungan fisika. Duniaku adalah sedetik terlebih berharga dengan kesunyian. Kedamaian yang harusnya kuraih dari menulis serasa ada yang mencegah. Aku terbiasa untuk diam diantara ribuan komunikasi pasang mata. Tapi jangan salah, aku juga bisa tersenyum. Namun senyumanku sebatas tulisan yang tertuang melalui pena yang kugerakkan. Bagi orang berilmu kegemaranku terlampau gila. Bagiku tak sebanding dengan kerumitan menghitung luas bidang dengan trigonometri. Itulah yang menjadi kekuatanku untuk hidup,  bahwa aku terlahir tanpa kerumitan, dirumitkan dan merumitkan.  
***
    Dalam tetesan embun sebatang api mengasap diantara keheningan pagi. Bapakku sudah muak dengan seminggu ini aku tak bersekolah. Bukan karena aku sakit-sakitan melainkan jiwa yang terlebih enggan menyentuh benda selain secarik kertas dengan pena. Kesibukkan untuk berimajinasi terpaksa terhenti ketika bapak yang selama ini diam menampar mukaku. Bukan kekagetan saja, melainkan seperti seenggok parang yang memaksa masuk tenggorokanku. Sangat tajam berusaha mengiris trachea lalu mematikanku. 
    “Anak goblok! Mau jadi apa kau, hah!” bentakan bapakku pagi itu kian berbedah. Ada semacam penyesalan yang tersirat dari makiannya. 
     Aku terkapar tak berdaya meratapi detakan detik yang baru saja berlalu. Ada sebulir kepedihan keluar dari mata. Merembes pelan melalui lekuk pipi menyusurinya hingga jatuh. Disaat demikian masih sempat aku menguatkan diriku sendiri. Aku memerintahkan semua bagian tubuhku untuk menahan kenyataan ini. Aku harus kuat.
***

Gili Ketapang, Sampai kapan, Aku?

    Aku mulai bersekolah kembali.

    Beberapa lalu lalang pelajaran sempat menjadi tontonan sesaat. Matematika yang menyuguhkan logaritma kutepis mentah-mentah. Beberapa hari sekembalinya aku bersekolah hanya kupusatkan untuk membuat komik. Sudah berlembar-lembar sejak tiga hari yang lalu. Hobiku merangkai kata lalu menuliskannya dengan gambaran yang bercerita. Meskipun berlembar-lembar tak ada satupun teman sejawat yang mencoba memuji karyaku. Sekedar berucap “waw bagus” bahkan bertanya “bagaimana kau membuatnya?” pun tak ada. Bukan aku tak memamerkannya, itu terlebih bodoh seukuran manusia macam aku. Sudah jauh hari mereka mengetahui aku bukanlah anak 16 tahun yang tak pandai melukis. Jangankan melukis, membuat bidang datar saja aku perlu penggaris. Bukankah aku bodoh? Sebodoh-bodohnya orang yang bersekolah? Ini tak akan terjadi bila bukan karena seorang pendidik yang seakan-akan membenarkan semua perkataannya. Dari sinilah awalku berbalik pada jalan yang sepatutnya lurus. 

-flash back-
    “Kamu bisa apa? Maumu apa? Anak gelandangan juga bisa menggambar rumah! Apalagi kandang ayam seperti gambar jelekmu ini!” beberapa cacian dari beliau sungguh merendahkanku. Aku tak menangis, karena aku sudah lelah setiap tugas menggambar selalu menguras air mataku.
    “Orang hidup itu harus punya bakat! Orang bodoh, bakat wajib punya. Kalau sudah bodoh, bakat tak punya, mau hidup makan apa!” Oh Tuhan, ini merupakan puncak aku direndahkan. Hatiku hancur berkeping-keping, salahkah jika aku terlahir tak istimewa?
-end flash back- 

    Aku tak ingin memikirkannya lagi. Bahkan mengingat kejadian ini sangat membuatku semakin membenci guruku. Aku tak terlahir istimewa, tapi aku tak pernah berbuat menyakiti orang. 
Hari ini aku kembali dipertemukan dengan beliau; guru seni rupa. Aku tak bisa membayangkan hal apalagi yang beliau perbuat setelah terakhir membuatku malu dihadapan teman sekelas. Aku tak bisa dan tak kuat menahan rasa sakit ucapan mulut siletnya. Seminggu lalu aku absen pelajarannya, ini akan menjadi bahan caciannya untukku. Lama berselang, sosok tua bertubuh tambun yang kubayangkan tak datang, malah kini bapak kepala sekolahku yang menggantikannya mengajar. Walaupun kebanyakan hanya diisi dengan gurauan. Bel istirahat pulang berbunyi, dan tak ada angin tak ada hujan aku dicegah bapak kepsek dan beliau mengajak berbicara diruangannya. Ada guru seni rupa itu, bapakku dan kepala sekolah. Hatiku kian miris tiga orang yang tak pernah terbayangkan bersamaan dihadapanku.
***

    Baru kuketahui atas keberanian bapak mengungkapkan masalahku kepada kepala sekolah semua menjadi lebih baik. Tak ada lagi perlakuan semena-mena semenjak hal itu. Semua keseharian yang terobsesi atas ego, mulai tersapu pada sembari doa dan usahaku.

2 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites