Nurul Faridah, Penerobos Badai Kehidupan.
Kisah Srikandi SMANEGRA peniti karir dalam lintas pendidikan…
Ketika angin fajar mulai merapatkan
dinginnya di sekujur tubuh manusia. Sorot sang mentari tinggal sekilas
menantang dibalik pohon. Seketika itu juga gadis kelahiran Pasuruan, 10 mei
1994 ini mulai merangkai aktifitas kesehariannya.
Nurul
Faridah, begitu seluruh dunia akrab memanggilnya. Garis berparas ayu yang
merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara ini, tinggal di daerah Nguling.
Tepatnya di Jl. Pemandian Penunggul, RT/RW: 03/14 Gunungan, Nguling. Perlu
menempuh jarak ± 10 km untuk melangkah di SMANEGRA. Namun jarak tak mampu
mengalahkan kobar semangat yang melekat di benaknya agar dapat menimba ilmu
yang bermanfaat bagi kehidupannya kelak.
Tinggal
pada rangkulan keluarga yang telah bercerai, tak jua tanamkan guratan duka di
wajahnya. Meskipun kesendirian kini mulai menghampiri untuk bersahabat. Sejak
ia tamat SMP, Sang bunda merantau ke Riyadh, Arab Saudi untuk bekerja menjadi
Tenaga Kerja Wanita (TKW) dengan kontrak kerja selama dua tahun. Pekerjaan yang
dilakoni ibunda tercinta semata-mata hanya ingin mencukupi kebutuhan hidup.
Tujuannya agar ke dua buah hatinya yang masih bersekolah dapat melanjutkan
pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.
Bukan
hanya Sang bunda, kehadiran ayah pun tak selalu indahkan hari-harinya. Ayahnya
yang bekerja di Brangga hanya menyempatkan diri pulang menengok ke dua buah
hatinya setiap tiga atau empat hari sekali. Itupun kehadirannya hanya memberikan uang Rp 15.000,00 untuk mencukupi
kebutuhan makan sehari-hari sekaligus uang saku sekolah yang harus cukup untuk
dua hari. Cukup tak cukup harus ia sisakan untuk keperluan lainnya.
Hidup
adalah sebuah perjuangan. Perjuangan untuk melengkapi sebuah keterbatasan.
Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh gadis yang bercita-cita menjadi
dokter ini. Karena minimnya uang yang di berikan, ia rela harus bekerja
sampingan untuk menutupi kekurangannya. Salah satu pekerjaan yang di gelutinya
adalah bejualan kerudung yang diambil dari kakak pertamanya yang telah
berkeluarga. Selain itu, Nurul juga menjadi pelatih pramuka di SDN NGULING 3
kecamatan Nguling dengan honor Rp 50.000,00 setiap empat kali pertemuan.
Namun,
di tengah lika-liku hidup yang harus dihadapinya, Nurul Faridah mampu
melebarkan sayapnya untuk tetap eksis di dunia pendidikan. Berbagi prestasi
telah banyak ia torehkan. Ia Sang Juara Olimpiade Matematika tingkat SMP se
Kabupaten Pasuruan. Bahkan tidak hanya berkecimpung di Pasuruan saja, ia juga
mengukir tinta emasnya di Kabupaten Probolinggo.
Pernah
suatu ketika, jabatan yang di embannya sebagai bendahara kelas berujung pada
keresahan. Pasalnya uang LKS ± Rp 1,7 juta raib dicuri salah seorang yang
tinggal di Lingkungan rumahnya saat ia hendak mandi. Perasaan panik, kecewa dan
bimbang tentu mendera. Sungguh malang sekali nasibnya, tiada orang tua yang
seharusnya bisa ia jadikan sandaran beban hidupnya.Tangisan, rintihan dan
jeritan hati seakan menjadi hal biasa
bagi gadis ini. Karena semua itu
tertutupi oleh kesabaran dan ketabahannya. Ia ambil uang tabungannya yang ia
kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil menjadi pemenang lomba. Dan syukur
Alhamdulillah akhirnya uang tersebut bisa tergantikan.
Setegar-tegarnya
batu karang masih bisa tergoyahkan oleh hempasan ombak. Tak beda dengan figur
gadis yang satu ini. Setegar-tegarnya seorang Nurul dalam menghadapi badai
kehidupan, disisi lain masih tersirat sebuah kerinduan yang membayang
dijiwanya. “Sebenarnya, saat saya melakukan sesuatu, saya selalu teringat ibu,
tak ingin rasanya melupakan beliau meski hanya sekejap dan meskipun aku tidak
merasakan hasil dan uang jerih payah ibuku tidak masalah, yang penting ibuku
pulang dengan selamat”, ujarnya saat timred mengunjunginya pada hari Rabu
(23/03/2011) lalu.
Berlarut-larut
dalam kesedihan bukanlah cirinya. Untuk menghilangkan rasa rindu pada Sang Ibu,
ia alihkan sejenak fikirannya. Dengan mengisi waktu luangnya dengan kegiatan
yang positf seperti : les, pembinaan OSN, keja kelompok, berbisnis serta
melatih pramuka adalah agenda setiap harinya.
Dari figur seorang Nurul Faridah inilah kita dapat berkaca
diri. Menata hari esok untuk menjadi yang lebih baik lagi. Dan perlu kita
ingat, perbuatan yang nyata jauh lebih indah dari sekedar kata-kata.
Hilyatul Aulia
(XI-BHS)
Jefri Setyawan
(X-6)