Translate

Quotes

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 16 Oktober 2012

YUDISTIRA



 Udara begitu dingin. Menggerogoti tubuh menyisakan ngilu yang menusuk tulang. Gemericik gerimis di luar melambai menyurut birahi. Jalanan sepanjang Messacuset Country merangkakkan hujan yang semakin menjadi. Tak ada salju setiap bulan ke delapan. Udara bulan Agustus yang sudah 3 tahun aku lalui disini seakan mudah aku hafal. Entah mengapa setiap Agustus datang, nyaliku seakan padam. Semua kekuatan yang menjadikanku bertahan disini, sekejap luluh. Aku mencoba menerawang kejadian itu. Sudah lama memang, namun tak mudah untuk dilupakan.

 Surabaya boleh berbangga dengan Taman Remaja Surabaya (TRS), yang konon ikon kebonafitan kota pahlawan, namun enam tahun lalu anggota koperasi Suka Makmur berdecak kagum atas ide gila seorang anggota. Mereka seakan merombak malam itu menjadi malam perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang jor-joran di instansi itu dengan konsep yang mengadopsi modernisasi tanpa meninggalkan budaya asli. Apa jadinya jika Malang Tempo Doeloe dipadu dengan teatrikal bergaya TRS? Mungkin tidak terbayangkan. Realitanya, anggotanya pernah menikmati.

 Jam dinding berestafet dari angka ganjil hingga genap menusuk dua belas. Aku masih terjaga meratapi apapun pilihan akhir-akhir ini. Keputusanku sudah kuyakini tak sepenuhnya tepat. Sebelumnya aku pernah berprinsip yang lebih mirip seperti iklan rokok dengan sang tokoh kambing tengah berselonjor di bawah pohon: “rumput gue lebih asik dari rumput tetangga”. Agaknya kubebaskan malam ini untuk merenungi nasib tersebut. Ya, hanya untuk kali ini. Tuntunan jemari bergerilya pada tuts komputer menuliskan hal yang seharusnya kusimpan dan kugerendel erat. Namun apa kataku barusan, kubiarkan hanya untuk malam ini: ‘tuk setahun sekali.

Yudistira, seorang pemuda lulusan perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, yang mengabdikan dirinya baru dua tahun di koperasi milik pemerintah, menjadi salah satu saksi hidup dalam perjalanan dan perubahan demi perubahan kecil di koperasi unit desanya. Berbekal “Man Jadda Wa Jadda” sebuah torehan langkah yang diyakininya takkan berhasil hanya dengan lisan belaka.  Tidak jarang dia menjadi ujung tombak tatkala harus melobi pihak atas dan birokrasi pusat yang setara rumitnya. Hingga dalam sebuah rapat khusus yang dihelat akhir tahun, yang membahas segala aspek koperasi Yudistira dipercaya memangku amanah ketua koperasi unit desa sekaligus ketua RT. dusun Kalirejo tanpa interupsi, tak terbantahkan, dan sangat didukung.

 Angin malam semakin kencang memaksa masuk lewat celah jendela. Aku beranjak menuju perapian-menambah kayu- untuk menghangatkan badan. Kurasakan ada yang beda, lebih mirip sebuah kerinduan akan kehangatan tanah kelahiranku-Indonesia. Bersama bercengkerama dalam paguyuban yang masih fanatik akan tradisi. 


16 Agustus 2009…

 Tidak hanya kegiatan memorial semacam gerak jalan Agustusan dengan doorprize yang bejibun meski tak mewah, Khotmil Qur'an dan doa tasyakuran kemerdekaan, bazaar serta panggung gembira tujuhbelasan. Agaknya juga kegiatan-kegiatan yang benar-benar memperintim antar anggota, yang konon belum pernah ada, semacam senam kaum hawa setiap jumat, jamaah yasin dan tahlil bagi bapak-bapak setiap dua minggu sekali, pelatihan koperasi bersama pelajar sekitar sebulan sekali, dan sebagainya.

 Bertambahnya anggota baru koperasi bisa menuai berkah juga masalah. Kekompakan Suka Makmur mulai digoyang. Duryudana seorang anggota, mulai tersinggung lantaran Yusdistira dianggapnya tidak sesuai memilih perwakilan dalam Jambore koperasi. Yudistira menelaah bahwa jabatannya pasti dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, meski hanya sekelas ketua koperasi.

 Lain lagi Drupadi, perempuan yang senang berpoliandri bertubuh seksi layaknya miss universe, juga menyimpan benih kebencian akibat teguran halus Yudistira kepadanya. Kesenangan untuk berpoliandri dengan lima suami, dinilai warga tidak sesuai bagi perempuan pada kodratnya. Bukan mancampuradukan hak pribadi dengan wewenang sebagai ketua RT, terlalu banyak laporan warga atas kegaduhan antar suami dirumahnya. Satu dua warga meminta dengan kekeluargaan agar dipindah. “Halah, ini ‘kan sumai-suami saya juga!” jawabnya ketus.

 Kemana lagi rakyat mengadu jika bukan kepada pemimpin.
 Nakula dan Sadewa mengisahkan ini kepada Yudistira, berikut cerita-cerita lain di balik keonaran yang dibuat oleh Drupadi. Dengan tenang Yudistira menanggapi,”itu wajar, kita juga harus menghargai perbedaan, bukan menyalahkan tentang poliandrinya, bapak-bapak? Ya sudah, saya coba bicara sama beliau. Sekalian kenalan secara resmi”.

 Sepulangnya membeli atribut agustusan bersama Bima adiknya, Yudistira mendatangi rumah Drupadi. Mendengar arah tujuan pembicaraan Yudistira, Drupadi mulai mengkritik pedas bahkan mencaci-yang dinilainya tidak adil-atas teguran tersebut. Merembet. Tuduhan “semena-mena” dia hujamkan dengan kejam. Yudistira meluruskan: “setidaknya kita saling mengormati saja ya, Bu”. Tanpa suguhan juga jabat tangan, Drupadi mengakhiri percakapan dengan pintu yang dihempas sekeras-kerasnya.


 Messacuset, 11.17 PM…

Senyap. Dadaun Wild Banana Orchid bergelanyut manja pada pucuk-pucuk pohon fig. Gigil.

“Hei! Besok pagi hari spesial bagi anak bangsa sepertimu! Seharusnya kau cuci muka, gosok gigi dan tidur,” Aku terkaget. Jeff melongokkan kepalanya dari pintu yang kamarnya. Aku diam. Lebih baik Aku berpura-pura tidak dengar. Jiwaku seakan terancam bila sudah ada sosok manusia yang tingkahnya mirip sosok Baby Huey di serial kartun yang sama. Sekalipun menjengkelkan, ia sangat kaya akan kelebihan. Termasuk berat tubuhnya yang menyamai karung beras.

“Hei! Kau lihat aku disini kan?” Suara kakinya menghampiriku. Ia tertarik dengan kesibukanku.

“Menulis lagi?”

“Apa kau lihat aku tengah merebus sosok bayi idiot besar, heh?” Jawabku ketus.

“Ayolah, tak seharusnya hatimu yang baik itu terus-terusan mencelaku,” rengeknya. Aku menahan tawa agar tak meledak. Kapan lagi menjahili Jeff yang tak hentinya menyusahkanku: tiap jam menit bahkan saat ke toilet pun banyak tingkahnya yang usil.

“Yudis…!”

“Hem…” jawabku cuek. 

“Aku baru putus!” ujarnya. Oh, sejarah apakah ini Tuhan, si bayi raksasa sudah pernah mengalami cinta? 

Dan yang tak bisa kuduga lagi… Tuts… tuts… tuts… !

“Suara apa itu,” gumamku. Sekejap kulihat layar monitorku mendadak gelap. Akhhh!!!

“Ini ulahmu kan?” tatapku pada Jeff. “Kau yang memulai kan?”. Aku mengepalkan tanganku siap-siap menonjok perutnya yang buncit. “Stop!!! Bukankah kau sering mengatakan: dalam pewayangan Yudistira itu pandai memerangi nafsu pribadi, dan itu berarti kau tak boleh marah padaku.”

“Sejak kapan kau pintar mengutip perkataanku, hah?”

“Sejak tiga tahun lalu, ketika kau hijrah kesini…”
Malam itu menjadi puncaknya. Sebuah sambutan haru Ketua RT sekaligus ketua koperasi membuka acara tujuhbelasan di tahun kedua dengan penuh semangat.

“….Dipercaya oleh warga lebih dari penghargaan buat saya dan keluarga. Diamanah menjadi ketua koperasi, merupakan kebanggaan. Namun jika itu harus ditukar dengan perpecahan juga ketidakharmonisan, akan membuat saya tidak tenang di dunia hingga akhirat nanti. Pada perayaan kemerdekaan negeri kita hari ini, dengan segala kerendahan hati, permohonan maaf kepada bapak, ibu, dan rekan-rekan anggota sekalian, ijinkan saya mengundurkan diri. Hal ini karena pertimbangan juga dukungan keluarga dan harapan agar kembalinya kerukunan dan indahnya kampung sekaligus kemajuan koperasi desa. Cukup bagi saya berjuang bersama bapak ibu sekalian menjadi pemimpin yang mandiri dan disegani. Saatnya kita mengembalikan itu di bawah kepemimpinan seseorang yang lebih hebat, tentunya....”,

“Aku sudah mengerti…,” celetuk Jeff. Tatapanku yang sempat melayang atas ucapannya dipaksa lagi menelaah perkataan keduanya.“Malam sebelum Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Di flat ini aku begitu kagum padamu. Baru kali ini kutemui teman yang jauh dari penampilan tua, bisa memiliki jiwa cinta pada bangsanya.”

“Aku melakukan karena keterbatasanku. Kau tahu, alasanku hijrah kemari…”. Ia menyela perkataanku, 

“Karena kelak dirimu ingin meng-gratiskan persatuan di Indonesia. Dan pengabdianmu pada negaraku adalah step by step mencari bekal untuk dibawa pulang”

“Bagi warga Kalirejo dan anggota Suka Makmur, momen kemerdekaan selalu menyisakan kenangan tersendiri, terlebih semenjak malam yang tidak biasa itu. Butuh transisi berat juga kepercayaan diri yang lebih bagi mereka untuk bangkit dari keterpurukan dua tahun lalu.”

Tik…
Suara itu.

“Dubes mengundangmu di acara kemerdekaan bukan?” Tanya Jeff dalam keheningan.“Ya, seperti biasanya,” ucapku santai.

“Dan kau membuat tulisanmu lebih menarik yang kau kirim agar termuat dalam Koran hangat esok, kan?” tanyanya. Kuberpikir sejenak, “Tapi itu tak terjadi karena beruang jelek mengacaukannya”. 

Tikk… Tik.. 
Suara itu lagi. Kucuri pandang ke arah muka Jeff, “Aku maksudmu?”.

“Saljunya turun… Jeff!!!,” kuberteriak mendekati jendela. 
Ini malam kemerdekaan yang Indah. Merah putih di benua biru. Antara gembira dan berkecamuk luka. Aku memang menyadari: Ternyata kerukunan di Indonesia masih terlalu mahal harganya.

(J. Setyawan)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites